Menguak Sosok Anjasmoro



Namanya Pegunungan Anjasmoro, yang merupakan salah satu gugusan pegunungan paling kompleks se-Jawa Timur. Sebagai bagian dari kluster pegunungan, tentunya Anjasmoro punya banyak puncak dan gunung-gunung yang masuk dalam gugusannya. Jombang punya bagian Gunung Gede dalam wilayahnya, masuk wilayah dataran tinggi yang bernama Wonosalam dengan puncaknya yang berjuluk Cemorosewu.

Sayangnya, meski menjadi salah satu ‘pemilik’ Anjasmoro, tak banyak yang tahu pula bahwa wilayah Jombang juga punya kawasan pegunungan. Kunjungan Alfred Russel Wallace yang menjadi satu-satunya catatan ilmiah mengenai kawasan ini. Dalam laporan kunjungannya, dia menuliskan dataran tinggi ini sebagai bagian dari ‘Wonosalem yang ada di lereng Gunung Arjuno’.



Catatan Sang Ilmuwan ini seakan malah menenggelamkan nama Anjasmoro. Bisa jadi karena letak kedua gunung yang bertetangga satu sama lain. Mungkin juga akibat sama-sama berawalan huruf ‘a’ dan berunsur getaran ‘r’ di tengahnya sehingga makin mengaburkan nama asli pegunungan kebanggaan Kota Santri ini. Nama Anjasmoro hanya sedikit terkatrol karena melekat di sesosok selebritis yang kini mendalami dunia meditasi dalam kesehariannya.

Bila ditelaah lebih lanjut, nama Anjasmoro terdengar seperti nama yang maskulin. Anjasmoro berasal dari gabungan dua kata yaitu anjas dan asmara yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang kerap dijadikan naskah kitab kuno. Bila diartikan per kata, anjas artinya kubu pertahanan atau benteng, sedangkan asmara berarti cinta. Bila digabung, Anjasmara artinya kubu pertahanan cinta atau kubu pertahanan suka dan duka. Bisa dikatakan pula Anjasmara berarti pintar dan pandai bercinta menurut kamus bahasa sansekerta.


Di tengah kurang populernya Anjasmoro di kalangan para pecinta nanjak sekalian, masih menjadi misteri siapa sebenarnya sosok yang namanya diabadikan menjadi nama gugusan pegunungan yang membentang dari Malang, Mojokerto, Jombang hingga Kediri ini. Tak ada perkamen kuno apalagi catatan ilmiah sama sekali tentang sosok Anjasmoro.

Hanya ada kisah legenda romansa dua sejoli yang menjadi dasar kisah Air Terjun Tretes Pengajaran antara Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Ada lagi cerita fiksi film kolosal dalam Tutur Tinular dimana Arya Kamandanu melakukan latihan tarung di Gunung Anjasmoro dan Gunung Arjuno, beserta pedang Naga Puspa-nya. Namun nihil, tak ada penjelasan sama sekali siapa sosok yang namanya dijadikan nama gunung Anjasmoro.

Ada yang menyebutkan bahwa putri pantai selatan yang dinikahi Joko Mujung adalah Putri Anjasmoro. Sedangkan yang lain bilang, versi asli fiksi Tutur Tinular sebenarnya berakhir dengan Arya Kamandanu bersama Putri Anjasmoro. Namun fiksi tetaplah fiktif, yang tak bisa dibuktikan dalam kata ilmiah.


Beruntung, setelah lama melakukan penelusuran, dari seorang pemuda Desa Jarak Wonosalam, Jombang City Guide berhasil mendapat petunjuk kecil tentang sosok Anjasmoro. Detail kecil didapat dari dalam tembang macapat berjudul Asmaradana yang merupakan sastra jawa klasik mengenai kisah perjuangan seorang ksatria Majapahit.

Sosok Anjasmoro, disebutkan dalam sepenggal cerita tentang perjuangan Ksatria Damarwulan kebanggaan Mojopahit. Meski bukan dari Serat Damarwulan dan kisah Sang Ksatria sendiri masih simpang siur, setidaknya ada setitik unsur kuno dalam tembang klasik yang termaktub dalam budaya Jawa. Dari tembang ini, bisa menjadi petunjuk kecil :

Dalam Bahasa Jawa
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
Asmaradana

Anjasmara ari mami
Mas mirah kulaka warta
Dasihmu lan wurung layon
Aneng kutha Prabalingga
Prang tandhing Wurungbhisma
Karia mukti wong ayu
Pun kakang pamit palastra
Kasmaran

Wahai Anjasmara Adindaku
Permata hati carilah berita
Kekasihmu tak urung jadi mayat
Berada di kota Probolinggo
Bertempur melawan Wurubhisma
Tinggallah berbahagia wahai kekasihku yang cantik
Kakanda memohon diri untuk mati

Rupanya, penggalan tembang macapat ini adalah bagian dari kisah Ksatria Damarwulan yang akan berangkat berperang melawan Raja Blambangan. Sebelum berangkat, Sang Ksatria andalan Wilwatikta ini berpamitan dengan istrinya, Dewi Anjasmoro.

Keduanya berada dalam lingkaran bangsawan kerajaan, yang sering berinteraksi satu sama lain karena kegiatan ayahanda mereka yang tak jauh dari urusan istana. Damarwulan merupakan putra dari Patih Maudoro sedangkan Anjasmoro merupakan putri dari Patih Lohgender. Singkat cerita, Anjasmoro dan Damarwulan merupakan pasutri yang baru saja menikah, dan sedang kasmaran dalam biduk rumah tangga yang baru saja mereka bangun.


Sebagai pasangan yang baru saja menikah, tentunya Sang Istri selalu ingin berada dekat dengan suaminya. Sang Suami pun didapuk membela negara untuk menumpas pemberontakan kerajaan bawahan. Anjasmoro tak rela melepas suaminya pergi berperang, meski itu merupakan tugas Negara. Dia bahkan ingin mengikuti kemanapun suaminya pergi, meski dalam medan perang yang penuh mara bahaya sekalipun.

Suatu hari, Damarwulan mengajak istri tercintanya kemanapun Anjasmoro inginkan. Seharian mengajak istrinya bersenang-senang kemudian Anjasmoro pun lelah dan tertidur. Kesempatan ini pun digunakan Damarwulan untuk pergi berperang, karena jelas saat istrinya terbangun pasti dia tak akan tega meninggalkannya. Sedangkan, istrinya pasti tak akan mengizinkan suaminya pergi. Kemudian Damarwulan pun menuliskan surat untuk Anjasmoro yang berisi tembang Asmaradana penuh ungkapan cinta yang ditinggalkan di samping istrinya yang lelap tertidur.


Damarwulan pun berangkat berperang ke Probolinggo melawan Raja Blambangan yang katanya dipimpin oleh Minakjinggo. Blambangan sendiri, merupakan kerajaan bawahan Majapahit yang membelot karena Minakjinggo menyatakan perang karena janji lamarannya diingkari oleh Ratu Kencono Wungu. Blambangan adalah daerah Banyuwangi, sedangkan Probolinggo adalah perbatasan antara wilayah pusat Majapahit dan Blambangan.

Singkat cerita, akhirnya Damarwulan berhasil mengalahkan Minakjinggo dan Ratu Kencono Wungu malah menjadi istri baru Damarwulan. Karena Kencono Wungu seorang ratu, sehingga posisi Anjasmoro sebagai istri pertama pun tergeser sehingga Sang Ratu pun menjadi permaisuri. Cukup tidak adil ya?

Meski demikian, Damarwulan sejatinya tak terlalu tertarik dengan Kenconowungu dan tetap menempatkan Anjasmoro di tempat tertinggi di hatinya. Di sinilah peran Anjasmoro yang setia pada suaminya, menanti kekasihnya pulang membawa kabar gembira. Seorang wanita yang tangguh, dimana pengabdiannya pada orang terkasihnya menjadikan suaminya punya posisi yang tinggi, meski dirinya akhirnya harus merelakan berbagi suami, aaaaarrrgh!!!

Lupakan tentang Kenconowungu. Kisah tembang Asmaradana jelas hanya tentang Anjasmoro dan Damarwulan yang sedang kasmaran namun harus berpisah. Entah darimana kedua pasangan ini berasal, yang jelas nama dua sejoli di zaman modern ini kedengarannya agak terbalik. Damarwulan terdengar seperti nama perempuan, sedangkan Anjasmoro malah kerap dipakai sebagai nama laki-laki.


Tembang Asmaradana memiliki arti cinta yang berapi-api, diambil dari kata asmara yang berarti cinta dan (dahana) yang berarti api. Jadi Asmarandana bias diartikan sebagai api cinta yang berkobar-kobar. Nama Anjasmoro juga punya salah satu unsur yang kebetulan mirip dengan ‘judul’ tembang macapat ini.

Tembang Asmaradana ditujukan untuk orang yang sedang dimabuk asmara. Sebagaimana kehidupan, ia digerakkan oleh asmara, cinta, welas asih. Banyak yang percaya, dengan kekuatan cinta apapun bisa dilakukan. Bukan hanya cinta kepada sesama manusia, namun juga cinta pada alam semesta dan cinta terhadap Tuhan. Macapat Asmaradana juga sering disebut sebagai Asmarandana, adalah lagu kasmaran yang sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan cinta, baik untuk lagu sedih karena patah hati, kecewa cintanya ditolak, pasangan bahagia, maupun sebuah pengharapan pada pasangan.

Menariknya, Goenawan Mohammad, seorang sastrawan modern mengembangkan kisah Asmaradana ini dengan menuangkannya dalam kisah versinya sendiri. Meski fiktif, namun tentap berdasarkan alur cerita dalam tembang Asmaradana :
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning.
Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti yang jau,
Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.


Dari ulasan masdewee, terdapat review yang menarik :
Tergambar betapa syahdu dan haru suasana ketika itu yang terwakili dalam tiap bait puisi tersebut. Sebenarnya banyak yang ingin mereka ungkapkan. Entah tentang cinta, perpisahan, dan rasa sakit yang menyayat, “Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.”
Hingga akhirnya, kepergian Damarwulan itu disikapi dengan dingin kebekuan oleh sang kekasih, diam. Karena, “ia tahu perempuan itu tak akan menangis.” Tak ada gunanya menangis bagi sang kekasih karena itu takkan mengubah takdir, “bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,” yang berarti bahwa berita kekalahan dan kematian akan datang (bagi orang Jawa [Islam], utara adalah lambang kematian. Contoh: wong mati mujur ngalor [orang meninggal dikubur membujur ke utara]) dia harus menerimanya dengan legawa.
Namun, apabila berita kemenangan yang datang maka dia harus rela melepas sang kekasih naik pangkat lalu pindah tugas di dalam kerajaan Majapahit serta dinikahkan dengan seorang gadis yang lebih terhormat. Hingga akhirnya, “ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.” Bak buah simalakama.
Dan akhirnya Damarwulan pun hanya bisa berpesan:
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.
Sebenarnya pesan yang tersirat dalam puisi tersebut tidak hanya renungan tentang hidup, mati, dan cinta semata. Selain itu tersirat sebuah amanat kepada kaum lelaki (khususnya) agar jangan terlalu terobsesi dengan pangkat, jabatan, dan gelimang dunia sehingga melupakan keluarga. Karena pada umumnya, semakin tinggi jabatan seseorang maka intensitasnya untuk bersama dengan keluarga akan semakin sedikit. Dan inilah kebanyakan pemicu keretakan rumah tangga.

Sedangkan amanat untuk kaum perempuan, bahwa jadilah pribadi yang tangguh. Dukungan dari istri memang sudah banyak terbukti menjadikan suami lebih kuat dan berhasil dalam pekerjaannya. Pengabdian untuk suami merupakan segalanya sehingga keutuhan rumah tangga terjaga. Dari peran istri, rumah akan selalu menjadi tempat suami untuk pulang.


Romansa dalam kisah Anjasmoro dan Damarwulan sepertinya cukup mengalahkan cerita cinta Dewi Anjarwati dan Raden Baron Kusumo. Terbukti tembang macapat pun berhasil dikembangkan oleh para sastrawan dan seniman yang menuangkan kreativitasnya dalam berbagai bentuk karya seni. Selain puisi di atas, juga terdapat ketoprak, bahkan tarian yang terinspirasi dari sosok Dewi Anjasmoro.

Uniknya, Tari Anjasmoro atau Anjasmara’s Dance, malah kerap dipentaskan sebagai tarian solo di Bumi Pajajaran dengan penari yang umumnya berpenampilan layaknya kostum wayang kulit. Raden Tjetje Soemantri merupakan koreografer tarian Dewi Anjasmoro ini, yang memang terinspirasi dari kisah cinta antara Anjasmoro dan Damarwulan. Bagian barat Jawa ini sudah terkenal sebagai bagian dari Tanah Sunda yang jelas-jelas merupakan musuh abadi Majapahit. Dendam peristiwa di lapangan Bubat pun, masih menjadi memori gelap yang menimbulkan pantangan yang diikuti masyarakat Pasundan hingga kini untuk menghindari pernikahan dengan orang Jawa.

Tari Dewi Anjasmara menggambarkan seorang wanita yang mempersiapkan suami tercintanya untuk berangkat berperang membela negara. Tarian ini melambangkan kecantikan dan gemulainya perempuan yang pribadinya makin berkembang karena pengabdiannya terhadap orang yang dikasihi dan dicintainya. Mungkin bahasa kininya bisa dikatakan inner beauty-nya makin terpancar karena kedewasaan mental dan kematangan pola pikirnya meningkat. Jadi ketangguhan seorang wanita tersebut, menjadi penyokong semangat pasangannya.


Sedangkan tahun 2018 Sang Dewi Anjasmoro muncul kembali dalam sebuah tarian lain yang juga terinspirasi dari kisah cinta Damarwulan dan belahan jiwanya. Beksan klasik ciptaan KRT. Sunaryadi Maharsiswono, SST., MSn mengambil cerita dari ketoprak ‘Damarwulan Ngenger’ dari Kepatihan Wilwatikta. Sejarah beksan dibuat karena penciptanya sering memerankan tokoh Damarwulan di tahun 1970-an. Meski berupa karya baru, beksan ini dibuat dalam bentuk tari klasik gaya Yogyakarta.


Beksan Damarwulan ini diperankan sepasang penari yang berpakaian ala wayang panji  lengkap dengan tekesnya, yang menggambarkan sosok Anjasmoro dan Damarwulan. Ragam gerak dibedakan menjadi dua dimana impur alus merupakan milik Damarwulan dan gerak Tari Putri Brayak dimainkan oleh Anjasmoro. Kesemuanya membuat sebuah gambaran percintaan seperti berpegangan tangan dan saling berpandangan mesra layaknya pengantin baru yang sedang kasmaran.

Tarian beksan Damarwulan ini menggambarkan bahwa saling setia dengan pasangan merupakan impian semua manusia. Saling mencintai apa adanya pun juga menjadi modal utama untuk mendapatkan keluarga yang harmonis yang berjalan hingga ajal memisahkan.


Sosok Anjasmoro pun masih menjadi misteri. Sementara ini, bukti autentik dari sosok Sang Dewi Anjasmoro sayangnya ditemukan di Trowulan. Di lokasi yang menyimpan begitu banyak peninggalan sejarah Majapahit yang berada tak jauh dari Pegunungan Anjasmoro. Dapat dilihat jejak Dewi Anjasmoro di Makam Sentonorejo, tepat di belakang Kompleks Makam Troloyo.


Memang, Pengungungan Anjasmoro membentang dari Malang, Mojokerto, Jombang, hingga Kediri. Tentunya sejarah dan kisah-kisah tentang Sang Anjasmoro sangat mungkin tersebar di salah satu sudutnya. Jadi tak heran bila jejaknya bisa ditemukan di sebuah kecamatan yang dulunya merupakan bagian dari Afdeeling Jombang, meski sebenarnya Kota Santri sendiri merupakan hasil ‘disintegrasi’ dengan Mojokerto.


Di makam Sentonorejo, terdapat bangunan khusus yang merupakan makam istri-istri Damarwulan. Dalam makam yang hampir semua pernik-perniknya dibuat berwarna ungu tersebut, terdapat sebuah makam wanita yang bergelar Raden Ayu Anjasmoro yang berada tepat di samping makam Ratu Kencono Wungu.


Kedua wanita ini dimakamkan bersebelahan, dengan bangunan khusus yang terpisah dengan yang lain. Bisa disimpulkan, keduanya jelas bukan orang biasa dalam kerajaan. Sang Ratu Kencono Wungu banyak dikisahkan sebagai Ratu Majapahit, dan makam Dewi Anjasmoro berada di sampingnya. Tampak berarti posisi keduanya sejajar dan punya posisi yang dihormati kala itu.

Ilustrasi Dewi Anjsmoro dan Ratu Kencono Wungu

Menariknya, bukti autentik tersebut berupa makam, yang berada di balik kemegahan kompleks makam Islam Troloyo yang begitu terkenal sebagai cikal bakal Islam menguasai Majapahit. Bila dipikirkan lagi dengan logika, Sang Wilwatikta sendiri merupakan kerajaan bercorak Hindu-Budha yang jelas menganut tradisi kremasi dan larung dalam pemakaman.


Sehingga tak akan mungkin ditemukan makam tokoh Wilwatikta, bahkan Raja Majapahit sekalipun. Bila ada pun, kompleks ‘pemakaman raja’ layaknya Lembah Para Raja di Mesir pasti berbentuk candi perabuan dan telah ditemukan oleh Laskar Mdang, yang dibangun untuk pendermaan Sang Prabu.


Jadi, makam yang dipercaya sebagai istri-istri Damarwulan itu jelas menimbulkan sejuta tanda tanya. Agama apakah yang telah mereka anut sehingga dimakamkan buka dikremasi, dan mengapa pemakamannya berada di kompleks Makam Troloyo. Benarkah itu nyata merupakan makam istri-istri Damarwulan, lalu bagaimana dengan nasib Sang Ksatria sendiri yang makam perabuannya belum pernah ditemukan? Atau mungkin ada sejarah lain yang mungkin luput dari catatan akibat ideologi istanasentris di era itu??? Wallahualam.



Menurut Pak Sanusi, Sang Juru Kunci yang juga memiliki toko mebel tepat di samping Makam Sentonorejo tempat pesarean Sang Dewi Anjasmoro, dua istri Damarwulan itu sudah masuk islam. Terbukti mereka dimakamkan dalam tata cara islam dan pesareannya berada di kuburan islam Sentonorejo Trowulan.


Makam itu sendiri sudah diperbagus dalam sebuah bangunan tersendiri dengan aneka hiasan berwarna ungu. Tak kurang pula orang-orang dari berbagai penjuru yang menziarahi lokasi ini, termasuk beberapa orang dari Malaysia yang tempo hari sempat berkunjung.


Dari penelusuran ini Jombang City Guide masih belum mendapat tambahan perbendaharaan bukti ilmiah. Yang jelas, versi lain jelas punya kisahnya masing-masing. Setidaknya dari penelusuran ini, didapat satu petunjuk tentang siapa sebenarnya sosok Anjasmoro. Namun belum diketahui, mengapa Sang Dewi Anjasmoro ini namanya diabadikan menjadi sebuah nama gunung. Entah apa hubungannya, dan bagaimana kisah awalnya.


Bisa jadi sosok Anjasmoro begitu memorable di kalangan masyarakat setempat sehingga namanya diabadikan menjadi salah satu gunung dengan medan paling kompleks di Jawa. Btw, adakah yang punya detail tambahan????


Dunia sudah terlalu terbuai kisah cinta Romeo dan Juliet. Namun banyak yang lupa bahwa sebelum mengenal Juliet, Romeo sudah punya kisah dengan Rosaline. Kisah heroik Damarwulan yang memenangkan perang dan bersanding dengan Ratu Kencono Wungu juga sangat populer. Padahal, di baliknya ada Dewi Anjasmoro yang lebih dulu menjadi cinta sejati Sang Ksatria Damarwulan.



Btw, foto dari berbagai sumber.
Ilustrasi Anjasmoro diambil dari penari beksan Damarwulan dan Mbak Senk Lotta saat memerankan opera wayang orang. Keduanya cantiknya gak ketulungan,,,,



Makam Dewi Anjasmoro
Kompleks Makam Sentonorejo
Belakang Kompleks Makam Troloyo
Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur
- Bekas bagian Afdeeling Jombang -

0 komentar:

Posting Komentar