Bentuk Puncak Kukusan yang ikonik memunculkan cerita yang berkembang di kalangan penduduk setempat. Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh juga menjadi cerita yang berkembang turun temurun. Lekuknya yang menarik dan tak biasa, serta memiliki bentuk yang berbeda tergantung darimana kita melihatnya, memberikan kisah tersendiri. Ada beberapa versi, yang kali ini Jombang City Guide akan menceritakan dari edisi yang berkembang dari warga Panglungan.

Via Blentreng

Secara administratif, Puncak Kukusan masuk wilayah Mojokerto dan dapat dicapai paling aman meski tetap super ekstrim melalui Nawangan. Meski demikian, view terdekat berbentuk lancip bisa didapat melalui Blentreng, sedangkan panorama paling cantik dari kemegahan Kukusan yang ikonik adalah dari Panglungan, Wonosalam.



Pemandangan mempesona dengan puncak lancip sempurna bisa dilihat lewat Bulu View Gua Sigolo-Golo, yang hanya dibatasi Sungai Boro di bawahnya sebagai tanda perbatasan dengan Mojokerto.

Panorama dari Gua Sigolo-Golo : ada yang mau endorse kamera ta???

Dari bentuk yang lancip sempurna itu, muncul kisah tentang panorama cantik itu dari versi Panglungan. Legenda ini, merupakan kisah yang berkembang di kalangan penduduk setempat dari bentuk-bentuk geologi Anjasmoro yang berasal dari kacamata Panglungan.

via Panglungan


Dikisahkan, Joko Mujung adalah seorang pemuda yang akan dinikahkan dengan seorang putri dari Ratu Pantai Selatan. Ibunda Joko Mujung, adalah Roro Bubuh yang dipercaya merupakan seorang selir dari Raja Majapahit. Roro Bubuh memang berada dalam pengasingan di Wonosalam, dan tinggal di Lereng Anjasmoro yang lokasinya berada tak jauh dari Trowulan dan Istana Kerajaan Majapahit.

Ilustrasi (saja)

Siluet Deretan Pegunungan Anjasmoro dari Mojowarno

Sayangnya, tak disebutkan nama Sang Putri dari Penguasa Pantai Selatan yang akan dinikahkan dengan Joko Mujung, termasuk apa keistimewaannya sehingga terjadi perjodohan itu. Selain itu tidak jelas pula mengapa Roro Bubuh tinggal jauh di Lereng Anjasmoro, berikut siapakah raja yang dimaksud.


Bisa jadi karena persaingan selir, maupun keinginan Roro Bubuh sendiri yang ingin menyendiri dalam pertapaannya di puncak gunung. Tak heran, menurut para pendaki memang banyak ditemukan bekas petilasan pertapaan maupun arca yang tersebar di pegunungan Anjasmoro, yang dipercaya sebagai bagian dari peninggalan Sang Roro Bubuh.


Layaknya sebuah pernikahan, tentunya banyak persiapan digelar termasuk berbagai kue dan makanan yang disajikan untuk para tamu. Kue dan makanan yang akan disajikan juga sama dengan hidangan dalam pernikahan pada umumnya seperti kue lapis, nogosari dan nasi uduk. Bahkan disiapkan pula pagelaran wayang kulit untuk menghibur para tamu. Intinya, semua kru dan personel sedang sibuk dan bersiap untuk segala pernak-pernik pernikahan berikut kelengkapannya.

via Mendiro

Sejatinya, pernikahan dilaksanakan malam hari karena Sang Pengantin Putri berasal dari kalangan bangsa jin ya iyalah ‘kan putrinya Ratu Nyi Roro Kidul, dimana mahkluk halus memang menguasai dunia malam. Sepertinya acara ini semacam unduh mantu dimana pengantin putri datang ke kediaman pengantin putra. Namun tak disangka, pagelaran berlangsung terlalu lama, sehingga mereka tak sadar datangnya fajar menyingsing dengan ditandai ayam jantan berkokok tanda datangnya pagi disertai kilauan sinar mentari.

Lancip Sempurna : Puncak Kukusan saat terbit matahari via Wonosalam

Tamu-tamu yang sebagian berasal dari bangsa jin kalang kabut, mereka pergi kocar-kacir menyelamatkan diri karena sadar dengan kedatangan Sang Fajar. Katanya sih, bangsa jin akan berubah menjadi batu bila terkena sinar matahari, karena itu mereka lari kocar-kacir menyelamatkan diri.


Kisah mengenai bangsa jin yang takut dengan sinar mentari juga terjadi dalam kisah Roro Jonggrang yang mengelabui pasukan jin arahan Bandung Bondowoso dengan mengerahkan para wanita untuk memukul alu dan lesung hingga bunyinya bertalu-talu seperti tanda datangnya pagi. Selain itu juga tertulis dalam kisah JJ Tolkien dalam The Hobbit yang menceritakan tiga orang troll yang membatu karena terkena sinar matahari.

Sinar matahari masuk melalui celah bebatuan

The Hobbit Unexpected Journey : Troll yang membatu

The Hobbit Unexpected Journey : Ketiga Troll membatu karena terkena sinar matahari

Acara pernikahan jadi morat-marit, dimana banyak kue dan sajian makanan berserakan, ditinggalkan begitu saja oleh para tamu. Sajian kue lapis itu kini bisa disaksikan di lekuk-lekuk batu berlapis di Air Terjun Selo Lapis. Kawasan Coban Selo Lapis kini menjadi destinasi wisata alam naungan PERHUTANI, yang sebenarnya juga punya kisah tersendiri dan dipercaya merupakan reruntuhan candi dan pemandian para putri kerajaan.

'Kue Lapis' di Air Terjun Selo Lapis

Sedangkan nasi uduk yang masih dikukus, ditampilkan oleh Puncak Kukusan yang bentuknya seperti tutup kemukus, yang kadang asapnya masih mengepul, yang sebenarnya awan dari Gunung Welirang.


Selo Lumbung yang dipercaya sebagai tempat penyimpanan beras untuk acara, termasuk dapur untuk memasak sajian makanan untuk para tamu juga membatu, dan kini tinggal reruntuhannya.

Selo Lumbung

Pagelaran Wayang yang sejatinya menjadi acara hiburan untuk para tamu juga membatu membentuk semacam batu yang mirip dengan tampilan acara wayang di kaki bukit Selo Ringgit yang bisa dilihat dari Sungai Boro. Kisah ini pun akhirnya menjadikan inspirasi bukit yang ramai sebagai lokasi hiking ringan itu disebut Bukit Selo Ringgit, dimana selo artinya batu dan ringgit artinya wayang.

Bukit Selo Ringgit

Kisah wayang ini juga menjadi legenda dari kawasan Argowayang yang masih satu area dalam Gugusan Pegunungan Anjasmoro. Penduduk setempat bahkan menduga bahwa alunan gamelan wayang yang sering terdengar di kawasan inilah yang menjadi penyebab kacaunya sinyal yang mengakibatkan kecelakaan pesawat di Wonosalam pada tahun 1964. Puing-puingnya bisa dilihat dengan menuruni Puncak Cemorosewu.

Secuil dari puing-puing kecelakaan pesawat tahun 1964

Sedangkan ayam yang berkokok itu turut menjadi batu, yang bisa dilihat dalam bentu Watu Jengger yang memang bentuknya seperti jengger ayam raksasa. Diceritakan, Joko Mujung bersedih hingga sempat mengatakan siapa yang mendatangi lokasi Watu Jengger pun akan bersedih sepertinya. Maka dari itu lokasi Watu Jengger disembunyikan oleh para penjelajah lokal karena mengandung semacam ‘kutukan’ dari Joko Mujung.

The Real Watu Jengger : Batu berbentuk jengger ayam. Serius jangan kesana, BAHAYA

Selain itu di balik Puncak Kukusan juga terdapat air terjun yang dipercaya sebagai air kencing dari Jaran Dawuk atau Kuda Kelabu yang katanya merupakan Pegasus abu-abu atau unicorn?!?!?!?, kendaraan dari iring-iringan pengantin putri. Jaran Dawuk itu juga menjadi inspirasi tarian tradisional Jawa Timur selain tari Ngremo yang aslinya Jombang lho. Air terjun di puncak gunung itu mengalir hingga sekarang, yang hanya bisa disaksikan dari balik puncak kukusan via Nawangan.

Ilustrasi Jaran Dawuk di kala fajar menyingsing

Oro-Oro Ombo yang berarti padang lapang, dipercaya sebagai lokasi pendaratan iring-iringan pengantin karena begitu luas areanya, sehingga menjadi semacam ground yang cocok untuk acara pertemuan dan pernikahan.

Air Terjun di samping Puncak Kukusan

Air terjunnya kelihatan dari sisi ini

Beberapa hutan di kawasan Anjasmoro dinamai dengan nama kue, seperti Alas Nagasari karena kue-kue nogosari berserakan di sana pasca hancurnya acara pernikahan. Sempat ada sumber pula yang awalnya menamakan Gunung Anjasmoro dengan Gunung Nagasari, namun setelah ditelusuri lebih lanjut kisah itu masih menemui jalan buntu. Ada juga Alas Gelaran yang dipercaya sebagai lokasi dimana para penampil wayang dan pagelaran berlatih untuk performance dalam acara besar tersebut.

Puncak Kukusan : Mengintip dari balik pepohonan

Watu Lapis

Tak diceritakan bagaimana nasib pengantin putri yang iring-iringannya kabur karena datangnya Sang Fajar. Namun di Puncak Cemorosewu, terdapat batu berlapis yang strukturnya mirip dengan bebatuan di air terjun Selo Lapis. Batu berlapis itu kemudian disebut Watu Lapis yang dipercaya sebagai tempat pertapaan seorang putri. Apa mungkin ada kaitannya???

Tempat Pertapaan Sang Putri

Setelah melihat acaranya kacau balau, Joko Mujung pun duduk terdiam sambil meluruskan kaki di samping panci kukusan yang masih mengepulkan asapnya. Karena itulah dia disebut Joko Mujung, atau Joko Semujung karena kakinya yang sembujung melihat acaranya pernikahannya bubar.


Kemudian ibunya Roro Bubuh pun menghibur di sampingnya sambil meratapi sisa-sisa acara yang berserakan. Karena itu banyak yang bilang pegunungan Anjasmoro dari sisi yang ikonik ini tampak seperti orang yang sedang tidur atau meluruskan kakinya.


Sumber lain menyatakan bahwa Joko Mujung berasal dari kata joko yang artinya pemuda, dan mujung yang dalam Bahasa Sansekerta artinya berbaring atau tidur berselimut. Dimana kadang dari view tertentu terutama dari Bareng, Jombang, tampak di samping Puncak Kukusan yang ikonik itu terlihat seperti seseorang yang sedang tidur berbaring.


Posisi Kukusan, Boklorobubuh dan Joko Mujung dalam gugusan Pegunungan Anjasmoro memang berdekatan. Berbeda dengan Panglungan, Kawan dari Rejosari bahkan menyebut Puncak Kukusan dengan Puncak Boklorobubuh. Bisa jadi karena beda tampilan lekuk akibat sudut pandang yang berbeda.



Ibunda Joko Mujung yaitu Roro Bubuh ini diduga kuat sebagai asal muasal penyebutan Boklorobubuh, yang mungkin berasal dari kata Mbok Roro Bubuh. Mungkin karena logat maupun faktor kesulitan dalam pengucapannya akibat kurang familiar dengan legenda ini, akhirnya muncul banyak versi penyebutannya seperti Blakorobubuh, Blokrorobubuh, Bokrobubuh dan lain sebagainya. Yang jelas variasi penyebutan tersebut masih menyisakan bagian ‘bubuh’ secara utuh.


Sayangnya, kini tak banyak yang tau mengenai Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh sehingga nama kawasan jadi berkembang liar. Kawasan itu juga kini banyak yang rusak karena tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab. Padahal, Joko Mujung merupakan salah satu lokasi paling indah yang dikagumi penjelajah setempat.


Nama Bukit Joko Mujung jadi tenggelam, dan digantikan oleh para pemuda perintis wisata pendakian dengan Bukit Watu Jengger. Ironisnya, para pemuda itu malah tak paham dimana letak Watu Jengger yang asli karena lokasinya yang sangat ekstrim. Watu Jengger sempat menewaskan seorang pendaki karena mengunjunginya karena medannya yang begitu berbahaya. Jadi mungkin ‘kutukan’ Joko Mujung lebih pada letak Watu Jengger yang sangat berbahaya sehingga ada larangan untuk tidak mengunjunginya. Selain banyak hewan buasnya juga sih.


Itulah sepenggal kisah Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh dari kawasan Anjasmoro versi Panglungan. Ada yang mengatakan legenda ini terjadi jauh sebelum era Majapahit karena merupakan cikal bakal terjadinya Gunung Anjasmoro. Semoga bisa menjadi tambahan wawasan serta mengambil hikmah dari kisah tersebut.


Mungkin ada versi lain dari ini yang bisa melengkapi satu sama lain. Berbagai versi dari legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh bisa jadi merupakan kekayaan cerita setempat yang harus dilestarikan, supaya anak-cucu kita mengetahui kisah lokal daerahnya sebelum terheran-heran dengan cerita dari kawasan lain.


Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh
Puncak Kukusan - Pengunungan Anjasmoro
Versi Panglungan, Wonosalam, Jombang

Foto dari berbagai sumber : Matur tengkyu buat yang motret karena sangat bermanfaat, semoga jadi amal jariyah yang barokah


Dunia sudah terlalu dibuai dengan kenikmatan Kopi Luwak. Jombang pun punya lokasi wisata penangkaran luwak yang memang memproduksi Civet coffee asli yang bukan sekedar kopi yang logonya diberi gambar musang. Lalu bagaimana kalau kopi yang sama, diproduksi dengan campur tangan tupai??? Jenis kopi yang serupa, tapi tak sama namun juga tak kalah nikmat dan eksotisnya. Sudah pernah mencicipinya? Atau malah baru dengar pertama kali??

Di samping sebagai penghasil durian, Wonosalam memang dikenal sebagai kawasan hamparan kebun kopi sejak masa kolonial Belanda. Kopi ekselsa, merupakan andalan Wonosalam karena varietas ini merupakan jenis kopi eksotis nan langka yang tak banyak dibudidayakan, tak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.


Berawal dari kisah orang tua yang kerap mengkonsumsi kopi tupai di masa lampau, petani kopi di Wonosalam tak kehabisan ide untuk membuat kopi yang berbeda dari yang lain dan bisa dikomersilkan. Setelah diproduksinya kopi Luwak Ekselsa, adalah Kopi Jegidik yang merupakan jenis minuman berkafein yang diolah dengan sentuhan tupai sebagai perantaranya.

Walaupun punya peran yang sama dalam proses terciptanya kopi seperti Kopi Luwak yang tersohor itu, sejatinya Jegidik punya cara kerja tersendiri dalam mengolah biji kopi yang nantinya akan diambil dalam mengolah biji kopi yang nantinya akan diambil dan diolah oleh petani kopi setempat.

Sebutannya tak umum, kemudian dijadikan nama merek Kopi Jegidik. Jegidik jadi terdengar mirip dengan kata nJegidheg dalam bahasa Jawa yang artinya silent then doing nothing without answering. Julukan aneh ini diharapkan memunculkan rasa penasaran bagi yang membacanya sehingga bisa membuat sebuah branding yang menarik bagi konsumen.

Sejatinya, Jegidik merupakan sejenis tupai lokal yang moncong mulutnya panjang runcing dan gemar memakan berry kopi merah yang ranum. Sayangnya, petani kopi lokal tak mengetahui dengan pasti jenis spesies Tupai Jegidik ini. Yang jelas, tupai Jegidik ini jelas punya habitat di balik kemegahan Pegunungan Anjasmoro.

Berbeda dengan kopi luwak yang masih penuh kontroversi mengenai halal-haramnya karena tercampur kotoran hewan, Kopi Jegidik dijamin bersih dari keraguan akibat pro-kontra hukum akibat ‘feses ajaib’ itu. Biji Kopi Jegidik didapat dari ‘muntahan’ berry kopi sisa bekas dimakan oleh tupai.

Jadi, tupai-tupai tersebut dipelihara dan secara rutin diberi berry kopi yang matang. Kemudian mamalia yang menjadi kawan Spongebob dari Texas itu akan memakan daging berry-berry kopi yang disediakan. Seperti layaknya manusia yang makan durian, tentunya yang dimakan adalah daging buahnya, sedangkan bijinya kemudian dilepeh. Dari lepehantupai ini biji kopi yang mengandung air liur chipmunk ini kemudian dikumpulkan dan diproses menjadi kopi Jegidik.

Jenis kopi yang dimakan oleh tupai-tupai ini pun harus jenis ekselsa yang memang punya karakteristik daging berry kopinya tebal dengan biji kecil. Tupai-tupai itu biasanya tak suka jenis kopi selain ekselsa karena berry kopinya kurang tebal. Miriplah dengan manusia yang suka makan durian, pasti lebih kenyang dengan durian yang tebal dan berbiji kecil.

Ibaratnya tupai ini merupakan perantara sebagai ‘mesin’ pengupas berry kopi dimana mereka memakan daging berry kopinya sedangkan manusia membutuhkan biji kopinya. Kopi ekselsa yang kurang populer di dunia kopi karena berdaging tebal dan bijinya kecil, malah menjadi keunggulan unik dari Kopi Jegidik.

Kopi Jegidik jadi makin istimewa karena yang didapat dengan bantuan insting langsung dari sortiran tupai. Petani kopi sangat terbantu dari tajamnya penciuman Jegidik dalam memilih kopi terbaik, karena tupai ini hanya memilih kopi terbaik dalam menu makanannya. Kopi Jegidik pun menjadi sangat langka karena menjadi biji kopi pilihan yang benar-benar standar kualitas dari Sang Jedigik.

Sama dengan kotoran dari luwak liar yang mengandung kopi saat ditemukan di kebun kemudian dikumpulkan, ide pengolahan Kopi Jegidik berawal dari banyak ditemukannya biji-biji kopi yang ditemukan berserakan sehabis dikrikititupai liar. Setelah dikumpulkan dan diolah, didapat rasa kopi baru yang begitu unik dan berbeda dari yang lain. Sebuah cita rasa baru yang tak hanya nikmat tapi juga benar-benar langka.

Karena ingin memperbesar kapasitas, kemudian tupai ditangkarkan supaya Pak Sampiyo Sang Petani Kopi Jegidik tak kesulitan mengumpulkan biji kopi berliur tupai. Akhirnya berhasil ditangkarkan tiga tupai yang akhirnya satunya kabur di kandang belakang rumahnya untuk produksi kopi unik ini. Meski demikian, ‘perburuan’ biji kopi sisa dikrikiti tupai di kebun tetap berlanjut.

Awalnya Jombang City Guide tak tahu menahu mengenai kopi ini. Saat melihat bannernya, hanya berpikiran sebuah kopi yang punya merek bergambar tupai yang lucu sebagai brand name-nya. Mungkin pemikiran ini muncul akibat keracunan pola pikir kopi nasional yang hanya memasang gambar luwak dalam mereknya namun tak menggunakan hewan tersebut dalam produksinya.

Saat bertamu ke kediaman Pak Kasun di Sumber, kebetulan kopi menjadi sajian yang disediakan, bersamaan dengan durian lokal Wonosalam. Ketika pertama kali mencicipi kopinya, rasanya begitu pas, dan aroma kopinya begitu harum, tidak seperti kopi pada umumnya. Usut punya usut, rupanya Pak Kasun pun menjelaskan bahwa inilah Kopi Jegidik yang gambarnya tupai imut itu. Wow.


Menariknya, Kopi Jegidik selalu mendapat ulasan positif dari kawan-kawan Jombang City Guide yang kebetulan diberi oleh-oleh kopi tupai ini. Umumnya mereka menyatakan hal yang senada, dimana semerbak aroma Kopi Jegidik menyebar ke seluruh ruangan saat kopinya terkena air mendidih saat disajikan. Rasanya tak seasam kopi luwak tapi begitu unik sekaligus tetap nikmat saat diseruput. Rasanya pas, tapi mantap, begitu mereka mengomentarinya.

Kedai Rumah Durian Bu Sulami

Kopi Jegidik dijual di Lapak Durian Bu Sulami dan Kedai Rumah Durian Bu Sulami, yang juga menjual Durian Bakar Cantik ala Wonosalam. Harga kopi yang lebih langka dari kopi luwak ini pun masih dibilang terjangkau, dengan kisaran Rp. 7.000,- per cangkirnya. Terdapat pula kemasan kopi bubuk dengan gambar tupai yang imut, yang sangat cocok untuk oleh-oleh khas Jombang. Pun bila penasaran ingin mencicipinya, kopi ini sudah dijual secara online di beberapa aplikasi jual-beli oleh Sang Petani Kopi Jegidik.

Lapak Durian Bu Sulami : Itu kelihatan sedikit banner kopi Jegidiknya

Sebenarnya, selain Kopi Jegidik ada kopi lain yang juga dibuat dengan campur tangan tupai di Indonesia. Kopi Toratima dari Pipikoro, Sulawesi Tengah adalah kopi yang ‘menggunakan jasa’ tupai Tangali. Kopi tersebut juga sama langkanya dengan Kopi Jegidik, bedanya kopi Toratima berasal dari berry kopi Robusta. Bisa jadi, karena kawasan itu tak mengenal kopi ekselsa yang dagingnya tebal dan digemari para tupai.
Dunia perkopian internasional mengenal empat jenis binatang yang menjadi perantara produksi kopi nikmat : Luwak (Indonesia), Gajah Dung (Thailand), Burung Jacu (Brazilia), dan Kera (Taiwan). Dari Kopi Toratima dan Kopi Jegidik, kini sepertinya Indonesia bolehlah menahbiskan diri sebagai penyumbang kontingen tambahan dari jenis tupai sebagai yang kelima. Para pecinta kopi, mana ilernya???? Eh. Suaranyaaaa??????

Kopi Jegidik
Jalan Arjuno,
Dusun Sumber, Desa Wonosalam,
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
Rumah Durian Bu Sulami (Weni : 0855 4676 8860)
IG : imah_neda
Lapak Durian Bu Sulami (0857 3546 4040)
IG : kopi_jegidik

Kalau Kopi Luwak kan Civet Coffee ya. Kalau Kopi Tupai apa?
Chipmunk Coffee???