Sirene 'Seruling' Penanda Buka Puasa Peninggalan Belanda

Di Bulan Ramadhan ada tradisi unik yang terjaga di Jombang sejak abad ke-18. Selain muncul tradisi baru berupa Bazaar Ramadhanyang hanya ada di bulan puasa yang bikinkalap itu, ada seruling berupa sirine penanda buka dan imsak selama bulan puasa.


Sirine ini lebih dikenal sebagai seruling oleh masyarakat Jombang, dimana lidah Jawa akhirnya menyebutnya menjadi suling. Seruling yang berupa sirine ini akan berbunyi saat waktu imsak dan buka puasa tiba sepanjang bulan Ramadhan.


Kaos Lego Besut by Kaos Abang Idjo

Jombang City Guide masih ingat betul dulu sirine ini bunyinya keras sekali, terdengar sampai rumah Jombang City Guide yang tinggal sekitar dua kilo dari sirine ini berada. Namun sejak era reformasi, mungkin karena faktor usia atau hal lain, suaranya hanya terdengar sayup-sayup. Meski sudah tidak sekeras dulu lagi bunyinya, namun warga Jombang patut berbangga karena masih bisa menikmati adanya eksistensi sirine ini, dimana di kota lain sirine sejenis sudah tidak berfungsi lagi, bahkan sudah raib entah kemana.


Dulu belum banyak warga Jombang yang memiliki speaker, termasuk masjid. Sehingga bunyi bedug dan adzan kadang tidak terdengar jauh. Sirine ini adalah satu-satunya bunyi yang paling keras di masa itu, sehingga dipergunakan untuk penanda waktu buka dan imsak saat Ramadhan.

Siluet

Bahkan, ada tradisi lucu warga Jombang yang masih tetap dipertahankan sekelompok orang, dimana meski sudah terdengar adzan tetap belum membatalkan puasanya karena menunggu seruling sirine ini dibunyikan.

Kaos Lego Besut by Kaos Abang Idjo

Di Alun-Alun Jombang sendiri, banyak warga yang melakukan aktivitas golek wengi alias menunggu waktu malam. Setelah sirine ini dibunyikan, banyak dari mereka yang langsung pulang untuk berbuka puasa di rumah. Ada pula yang memang menunggu sirine dibunyikan sambil membawa bekal buka puasa dari rumah karena memang niatnya mendengarkan sirine secara langsung. Ada pula yang memang niat melakukan buka puasa di Alun-Alun Jombang karena di sana banyak berkumpul penjual makanan sembarang kalir. Ada pula yang sekedar minum membatalkan puasa kemudian langsung menuju Masjid Agung Baitul Mukminin utuk menjalankan jamaah maghrib kemudian baru berbuka puasa.


Di Jombang sendiri ada dua suling yang berbunyi yaitu di Gardu Suling sebelah lapangan tenis Pendopo Kabupaten Jombang, dan di Gang Suling yang menghubungkan antara Jalan Achmad Yani dan Jalan Professor Buya Hamka.


Seruling sirine yang ada di Alun-Alun ini ‘bertengger’ di atas atap sebuah Gardu yang bentuknya sama dengan gardu-gardu listrikpeninggalan era kolonial Belanda. Gardu yang bertempat di Alun-Alun ini dulunya merupakan Trasfromator Huisje atau Rumah Transformator tempat menyimpan alat penurun tegangan listrik, yang mungkin juga memiliki fungsi ganda yaitu berisi sebuah peralatan otomatis yang bisa mengaktifkan sirine untuk berbunyi. Digerakkan dua kali oleh operator setiap harinya selama Ramadhan, sirine ini bisa didengar hingga belasan kilometer.


Besi menara sudah terlihat tua, namun terlihat masih kokoh. Katanya, sirine ini mulai ada di abad ke-18 dan sirine ini dibunyikan sebagai penanda waktu kerja para pekerja dan pegawai Belanda. Namun setelah kemerdekaan, sirine ini difungsikan sebagai penanda buka puasa dan imsak masyarakat Jombang. Meski sudah berusia tidak muda lagi, namun sirine ini masih aktif difungsikan sebagai penanda waktu imsak dan buka puasa di Jombang. Bangganya, tradisi membunyikan seruling ini masih tetap terjaga dan dijaga oleh pemerintah Kabupaten Jombang.


Sebenarnya ada beberapa bangunan sejenis berupa gardu listrik Belanda di Jombang, diantaranya di perempatan Kebon Rojo samping kantor TELKOM dan Gardu Listrik di samping Klentheng Hok Liong Kiong.


Berbeda dengan gardu listrik peninggalan Belanda lainnya yang berusaha melindungi komponen di dalamnya dan biasanya berpintu tunggal tanpa jendela, Gardu Menara Seruling ini memiliki Jendela seperti layaknya lapak rombong pedagang keliling yang sepertinya dulunya bisa dibuka dan ditutup, seakan tidak mencegah warga yang ingin mendekatinya. Biasanya, gardu listrik pada umumnya, karena tegangannya yang tinggi, setiap orang di era kolonial dilarang keras mendekatinya, kecuali petugas perusahaan listrik di masa itu. Atau mungkin gardu ini memang bukan gardu listrik dan hanya difungsikan sebagai pemancar sirine????


Sayangnya, seperti banyak tempat di Jombang, gardu menara seruling Alun-Alun ini tidak bisa terhindar dari  kuningisasi yang diderita Jombang saat ini. Meski catnya berwarna oranye, rasanya jeratan kuningisasi masih ada di berbagai sudut. Ini terbukti dari dinding gardu yang dicat oranye (kuning)-hijau sesuai wabah yang sedang diderita Jombang BERIMAN dimana kuningisasi dilakukan di berbagai sudut kota meski markas para santri ini sebenarnya lebih identik dengan warna hijau dan merah.


Meski berada di Ring Satu Kabupaten Jombang, bekas rumah transformator dan pemancar sirine ini dicoreti oleh tangan-tangan jahil yang kadang-kadang mengatasnamakan dirinya bagian dari komunitas grafiti tetapi miskin seni.  Coret-coretan mural yang cuma pengen ngeksis dan tak bermakna telah sukses mengotori tempat yang merupakan salah satu saksi sejarah Kota Santri ini. Memang, ini adalah bukti bahwa kesadaran manusia Indonesia akan pentingnya menjaga kebersihan dan keindahan masih kurang. Padahal seandainya mural itu memiliki tingkat seni yang bagus, bisa menjadi salah satu sarana aspirasi rakyat dan tempat menuangkan ekspresi.


Gardu Listrik Pemancar Seruling yang ada di Alun-Alun, yang meski letaknya ada di samping Pendopo Kabupaten Jombang namun ‘dihiasi’ dengan aroma amoniak bekas pipis manusia-manusia yang malas berjalan mencari toilet. Padahal bila memang niat ingin buang hajat, tak jauh dari situ ada stasiun Jombang yang tak kurang toilet yang bersedia menampung ‘hajat’ warga.

Sumpah, disini pesing

Semoga dengan adanya liputan ini bisa mengingatkan kita mengenai pentingnya menjaga kelestarian peninggalan bangunan sejarah Kota Santri dan lebih meningkatkan kesadaran untuk menjaga kebersihan dan Keindahan Kota Jombang BERIMAN.

0 komentar:

Posting Komentar