Stasiun Kuno Jombang Kota Lama


Para siswa itu mengenakan seragam yang berlubang-lubang di beberapa bagian pakaiannya. Lubang-lubang itu disebabkan oleh abu cerobong asap kereta api kuno yang mereka naiki kala berangkat sekolah.

Ilustrasi kereta api kuno

Sudah jadi rahasia umum, anak-anak dengan baju yang berlubang itu pastinya para siswa yang menggunakan moda trasportasi kereta api ketika berangkat sekolah. Baju berlubang itu semacam identitas bahwa mereka sepurmania. Bahkan karena banyaknya abu panas yang berterbangan layaknya momen giling pabrik gula, tak jarang kulit dan wajah mereka pun turut menghitam terkena jelaga.

Hogwarts Express

Kereta api zaman dulu memang masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya dan lokomotifnya dilengkapi cerobong asap seperti kereta api Hogwarts Express dalam film Harry Potter. Bunyinya tuuuut tuuut… seperti dalam lagu maupun ilustrasi serial kartun Thomas and Friends.

Steven, Lokomotif kuno di serail Thomas and Friends : King of The Railway
Karena cerobong itu pulalah, asap hitam hasil pembakaran mengepul ke udara sambil ‘mencemari’ lokasi-lokasi yang dilaluinya. Selain lokasi-lokasi yang dilalui asap, para penumpang di dalam kereta pun akhirnya terkena imbasnya pula. Kereta kuno zaman baheula tak dilengkapi kaca jendela apalagi air conditioner di dalamnya, praktis abu jelaga dari cerobong yang hitam dan panas pun siap melubangi pakaian para penumpang, termasuk anak-anak sekolah di dalam gerbong.


Tapi itu dulu, sekitar tahun 1970an. Anak-anak itu kini sudah jadi orang dewasa yang sudah punya cucu, dan kini hanya mengenang masa sekolahnya sambil makan tahu Telor Mak Saromah di Jalan Seroja, tak jauh dari stasiun kereta api kuno milik Jombang. Stasiun Kereta api yang bertempat di jalan yang sama itu pun, sudah tak dioperasikan lagi.

Pintu masuk stasiun kuno Djombang Kota Pasar

Stasiun kereta api kuno di Jombang, terdapat di Jalan Seroja, Desa Jombang, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. Dulunya, kereta api ini menjadi moda transportasi paling keren di masanya dan stasiun Jombang Kota termasuk stasiun yang ramai. Sayang sekali tidak ada potret kuno yang menggambarkan situasi di Stasiun Jombang Kota kala itu.

Ilustrasi : Stasiun Singosari Malang

Arsitektur bangunan stasiun Jombang Kota lama ini mirip dengan stasiun-stasiun kecil yang ada di Jombang lainnya seperti di Stasiun Curahmalang maupun Stasiun Sembung yang kental nuansa kuno ala Belanda. Tembok yang tebal, dan ornamen hiasan dari kerikil kecil masih tampak di sisa-sisa dinding meski kondisinya sudah sangat memprihatinkan.

Ornamen dinding hiasan kerikil

Tak ada bukti otentik sama sekali di bangunan kuno ini selain tulisan Jombang Kota +37 di bagian samping atas dinding luar. Stasiun Jombang Kota lama ini kerap disingkat menjadi JGK. Sedangkan angka +37 maksudnya stasiun ini berada di ketinggian 37 mdpl. Memang, Desa Jombang bukanlah dataran tinggi seperti Wonosalam, sehingga suhunya pun tak sesejuk hawa pedesaan yang berada di lereng Anjasmoro.

+37 m

Stasiun kuno Jombang kota ini diperkirakan dibagun pada tahun 1897 seiring dibukanya jalur rel dari Jombang Staatsspoorwegen (SS) hingga Jombang Kota sejauh 2,7 km. Stasiun JGK dulunya masuk wilayah Daerah Operasi VII Madiun dan berada di ujung paling utara milik KSM serta berbatasan langsung dengan jalur milik Babad-Djombang Stoormtram Maatschappij (BDSM).


Stasiun Jombang Kota dulunya bernama Stasiun Jombang BDS karena dioperasikan oleh perusahaan kereta api lainnya yang disebut Babat-Djombang Stroomtram Maatschapppij (BDSM). KAdang stasiun ini juga disebut Stasiun Jombang Kota Pasar oleh para pemerhati sejarah perkeretaapian. Kemudian, jalur yang dibangun perusahaan swasta Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) ini dijual ke perusahaan kereta api Hindia Belanda Staatsspoorwegen pada 1930an.

Ornamen kerikil di dinding

Berbeda dengan masa sekarang dimana bisnis kereta api dikuasai oleh perusahaan BUMN PT. KAI dan memonopoli semua aktivitas transportasi di atas rel, di era kolonial bisnis kereta api dimiliki oleh banyak perusahaan yang bersaing maupun berkolaborasi satu sama lain termasuk dalam pembangunan jalur rel kereta api.

Loket Kuno

KSM adalah perusahaan kereta api swasta era Hindia Belanda yang mendapat konsesi tahun 1894 untuk membangun jalur kereta api di seputar Jombang dan Kediri. Sedangkan BDSM adalah perusahaan kereta api swasta lainnya yang mendapat konsesi tahun 1896 untuk membangun jalur kereta api di sekitar Jombang dan Lamongan.


Selain mengarah ke Ploso, jalur rel yang mengarah ke utara dari Stasiun Djombang Kota juga bercabang ke pabrik Gula Djombang Baru yang terintegrasi sebagai sarana pengangkutan hasil industri gula dan jalur lori. BDSM juga telah membangun jalur Jombang Kota – Jombang Pasar selama setahun di 1898-1899 sepanjang 3 kilometer.

Penyimpanan sayur

Rel yang mengarah ke selatan dan dibangun oleh BDSM menuju Stasiun Jombang Kota yang kini menjadi stasiun utama di Kabupaten Jombang. Jalur ini melewati pertigaan Beringin Contong yang merupakan titik nol Jombang, dan terletak di bagian barat dari Jalan Wahid Hasyim.


Pada tahun 1898 jalur rel Jombang Kota lama ini tersambung dengan jalur milik BDSM lintas Jombang Kota sampai dengan Ploso sejauh 10 km serta memiliki percabangan jalur yang akan berakhir di Tuban melalui Babat ke utara dan ke selatan menuju Pare sampai Kediri.

Rel jalur Djombang-Kediriyang masih bisa dilihat di Jalan KH. Hasyim Asyari

Jadi bisa dibayangkan betapa ramainya stasiun Jombang Kota lama waktu itu. Selain berada di lintasan utama milik Staatsspoorwegen, stasiun Jombang Kota Pasar juga terhubung dengan sejumlah daerah yang di sebelah selatan dan utaranya berkat KSM dan BDSM.

Lubang di tiang kecil, diduga untuk gantungan pembatas

Meskipun jalur Babad-Djombang yang dibangun BDSM merupakan rute yang strategis, namun pengelolaan jalur ini mulai mengalami kerugian setelag 20 tahun berjalan. Untuk menutup kerugian tersebut, di 1903 BDSM menutup kerugian tersebut dengan menyewakan sebagian asetnya pada Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij selama 15 tahun dengan nilai kontrak 250.000 gulden.


Namun sayang, dua jalur yang dibuat dengan susah payah oleh KSM dan BDSM kini tinggal kenangan, dan sudah tidak aktif lagi. Tahun 1981 Stasiun Jombang Kota dinon-aktifkan bersamaan dengan penutupan total jalur Babat-Jombang.

Kini dijadikan lapak pedagang

Tak dioperasikannya lagi stasiun lama ini karena makin padatnya penduduk di sekitar stasiun, termasuk berdirinya bangunan di sepanjang jalur yang melintang. Selain itu, perkembangan zaman modern dengan munculnya banyak kendaraan pribadi dan persaingan bisnis transportasi membuat kereta api kuno ini makin kalah pamor dengan moda transportasi lain. Infrastruktur warisan kolonial kondisinya pun sudah lapuk.


Letaknya yang bersandingan dengan pasar tradisional membuat bangunan lama kemudian beralih fungsi dan dijadikan bagian dari pasar. Ada bagian dari bangunan stasiun yang menjadi kantor pengurus pasar, ada pula yang menjadi gudang penyimpanan sayur dan sembako.

Terasnya dijadikan lapak pedagang pisang

Terasnya dijadikan etalase pedagang pisang dan sayuran. Beberapa bagian yang lain menjadi parkiran, jemuran, tempat sampah, penyimpanan alat kebersihan, bahkan di sekelilingnya dibangun lapak-lapak pedagang dan bedhag liar milik pedagang pasar. Bekas jalur rel kereta apinya, masih bisa dilihat sisanya di beberapa titik meski kebanyakan sudah ditanam dan di atasnya telah dibangun kios-kios pedagang pasar.

Sisa rel di stasiun kuno

Meski demikian, masih tersisa pintu besar khas Belanda, pasangan tiang kecil sebagai pembatas, maupun loket untuk penjualan tiket. Tiang kecil pembatas ini memiliki lubang yang mungkin digunakan untuk mengaitkan kain pembatas seperti dalam antrian bank.



Dua tiang kecil yang diduga untuk pembatas, terdapat lubang untuk gantungan

Sedangkan loket tiket, kini sudah ditutup dan digunakan untuk tempat bertengger televisi lama yang jelas masih lebih muda usianya dibandingkan kekunoan bangunan. Loket tiket ini masih menyisakan bagian jendelanya, sekaligus meja loketnya. Tampak warnanya yang sudah pudar termakan usia dan telah meninggalkan masa kejayaannya. Meski demikian, masih bisa dibayangkan para penumpang era kolonial yang datang silih berganti.

Loket Kuno yang masih tersisa

Kini dijadikan tempat televisi

Terbayang dalam benak Jombang City Guide dan Djombang Tempoe Doeloe, hiruk pikuk para petugas kereta api beserta para penumpang yang ditemani oleh pengantar sambil membawa barang bawaannya. Ruangan di sebelah loket sepertinya semacam peron dengan antrian tiket sekaligus ruang tunggu untuk menanti kereta yang datang.

Seperti lokasi bongkar muat divisi pengangkutan barang

Penyimpanan beras

Di sayap lain dari stasiun Jombang Kota lama, juga terdapat pintu yang lebih besar seperti layaknya bongkar muat angkut barang. Bisa jadi ruangan ini bagian dari divisi pengiriman barang tempo dulu. Kini ruangan ini dijadikan penjual beras untuk operasional bisnisnya.

Kantor asosiasi pedagang

Sepi karena sudah siang

Bagian tengah dari bangunan kuno stasiun Jombang Kota lama, mungkin dulunya adalah kantor perusahaan kereta api terkait. Kini, bagian ini masih tetap dijadikan kantor terlihat begitu mencolok karena dicat dengan warna kuning dan hijau khas kuningisasi yang masih diderita kota santri. Bagian tengah ini telah dialihfungsikan sebagai ruang para pengurus asosiasi pedagang pasar yang hanya buka ketika pagi hari.

Dicat Kuning-Hijau

Korban Kuningisasi

Kios-kios pasar ini, dulunya adalah tanah lapang yang merupakan bagian dari Stasiun Jombang Kota lama. Bekas rel kereta api kadang masih terlihat di depan trotoar sekitar pasar, di antara kios-kios pedagang dan di beberapa titik lainnya, meski sudah banyak yang ditutup permanen oleh bangunan baru. Bila bangunan-bangunan itu dibongkar, diperkirakan relnya masih ada karena kebanyakan langsung ditimbun saat pembangunan.

Sisa rel di Stasiun Kuno

Masih bisa dilihat

Dari kutipan Javanesche Spoorwegen Observeur (2013), sebagian peninggalan berupa sisa rel kereta api Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM) sudah beralih fungsi menjadi pemukiman warga. Didirikan bangunan, dibongkar dan tertimbun, bahkan hilang tak berbekas.

Lapak pedagang di Eks Lapangan Stasiun Kuno

Jalur relnya masih bisa dirasakan di sepanjang Jalan KH. Wahid Hasyim di sisi barat dimana aspal jalan terasa bergelombang dengan deretan cekungan sepanjang jalan. Rel itu dulunya tidak dibongkar tapi hanya ditimbun langsung dengan aspal seperti hampir semua rel peninggalan KSM di Jombang.

Rel di Jalan KH. Hasyim Asyari

Beberapa rel rute Pare yang masih utuh bisa terlihat di Jalan KH. Hasyim Asyari yang merupakan lanjutan dari Jalan Wahid Hasyim, terutama di depan Warung Soto Pak Loso di perempatan Parimono. Rel itu memang sudah tidak digunakan lagi, tapi masih bisa dibayangkan fungsinya ketika masih di masa keemasannya.

Sisa rel di depan Warung Soto Ayam Pak Loson Parimono

Diduga kuat, stasiun Jombang Kota juga pernah dilalui Koesni alias Bung Karno Kecil ketika masih berdomisili di Jombang dan menempuh pendidikan Volkschool atau Sekolah Rakyat di Ploso. Kala itu, Koesni kecil tinggal di Ploso dan keluarga Soekarno masih sering pulang-pergi menuju Kediri yang dalam rutenya Djombang-Pare yang melalui Gerdu Papak.

Sudah tak berfungsi lagi

Jalur ke selatan memang menuju Kediri melalui Pare, yang juga melintasi Gerdu Papak. Nenek Jombang City Guide masih benar-benar ingat di masa kecilnya saat tinggal di pemukiman sbelakang Gerdu Papak. Anak-anak sering bermain-main dan memanfaatkan kereta api lewat untuk membuat mainan dari paku.

Tapi masih bisa dilihat relnya

Paku-paku diletakkan di atas rel, sengaja dibiarkan hingga kereta api lewat. Setelah kereta api lewat, nantinya paku-paku tersebut akan terlindas oleh roda kereta api dan otomatis gepeng sehingga bisa dijadikan mainan seperti uang-uangan atau mainan lain. Sungguh sebuah masa yang begitu menyenangkan, penuh kebahagiaan dan menjadi kenangan yang manis.


Kadishub Lamongan memiliki rencana untuk menghidupkan kembali jalur Babat-Jombang yang kini telah mati. Namun sepertinya Stasiun Jombang Kota lama tidak akan menjadi bagian dari ‘penghidupan’ jalur modern karena kondisi lapangan yang sudah sangat tidak memungkinkan. Dalam wacananya, Stasiun Ploso dan Stasiun Kabuh yang akan masuk dalam rute yang masih direncanakan ini.


Meski tidak lagi dioperasikan dan tak akan dihidupkan kembali, Stasiun Jombang Kota pasar tetaplah menjadi bangunan kuno peninggalan bersejarah di Jombang dan layak dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya. Kita sebagai pewaris Kota Santri hendaklah turut menjaga kelestariannya, termasuk memahami seluk beluk sejarahnya yang begitu gemilang di masanya.

Stasiun Kuno Jombang Kota Pasar Lama
Jalan Seroja
Desa Jombang, Kecamatan Jombang,
Kabupaten Jombang


Selamat Hari Kereta Api Nasional

Patok kecil berbentuk persegi dengan sudut lembut setia berdiri di pinggir jalan Desa Menturo, tak jauh dari kediaman keluarga Cak Nun dan rumah kepala desa. Tepat di depan pagar sebuah rumah kuno bergaya Belanda, patok batu yang sekilas terlihat seperti batu biasa setinggi sekitar betis bawah orang dewasa itu sebenarnya menyimpan sejarah tentang rangkaian kisah Majapahit yang tercecer.

Patok Batu Kuno di depan rumah kuno


Patok batu sederhana di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang ini disinyalir merupakan salah satu penanda jalan masuk menuju ibukota Majapahit. Menturo juga diyakini sebagai salah satu pesanggrahan putra-putri kerajaan di masa itu.

Bersudut lembut

Menurut kisah penduduk setempat, patok berbahan batu andesit ini dipercaya sebagai tambatan perahu di era Majapahit. Layaknya sebuah perahu yang bersandar di dermaga, tambangnya pasti dikaitkan di sebuah patok supaya perayu tidak hanyut terbawa arus.


Tentunya, kisah mengenai patok sebagain tambatan perahu ini tidak muncul dengan sendirinya.  Entah darimana cerita rakyat ini berasal, pastinya sudah menjadi kisah turun-temurun yang diceritakan dari generasi ke generasi. Melihat keberadaan tugu batu di Dusun Menturo dan Dusun Tugu yang letaknya masih dalam satu kawasan, berarti sebaran patok-patok itu membentang dari utara ke selatan.

Terukir tulisan Jawa Kuno yang tak terbaca

Apabila kisah itu benar, bentangan itu memunculkan gambaran adanya sungai yang cukup lebar dimana patok-patok batu tersebut diletakkan di tepiannya. Sungai itu membentang dari utara ke selatan dan bermuara di Sungai Brantas di bagian utaranya.

Yang menjadi pertanyaan, kini dimanakah eksistensi sungai itu berada? Dengan adanya sebaran patok batu itu, dipastikan dulunya terdapat sungai kuno yang kini telah hilang. Entah apa penyebab hilangnya sungai itu, apakah disebabkan bencana alam yang melanda Majapahit hingga keruntuhannya ataukah akibat sudetan Sungai Konto yang dilakukan Belanda tahun 1914.

Siapa yang bisa bantu baca?

Menurut pakar sejarah Nurhadi Rangkuti, dulunya patok ini mencapai tinggi 127 cm dengan pahatan tulisan jawa kuno yang tidak terbaca di salah satu sisinya. Btw mungkin ada yang bisa bantuin baca?? Bentou patok di bagian bawah segi empat, dan bagian atasnya segi delapan. Segi delapan adalah bentuk khas era Majapahit yang mungkin terinspirasi dari logo Surya Majapahit dengan bintang delapannya. Mirip dengan umpak-umpak Grobogan yang juga berlekuk serupa.

Ada dekok di atasnya, jadi bisa diletakkan kerikil kecil

Namun inilah patok yang ada di hadapan Jombang City Guide. Dengan bentuk persegi dengan sudut  lembut dan setinggi  betis bawah orang dewasa. Sekilas, penampakannya tidak berbeda dengan bebatuan maupun pagar milik warga setempat lainnya. Jika Pak Kepala Desa tidak menjelaskan, bisa jadi Jombang City Guide hanya melewatkan patok batu bersejarah ini begitu saja.

Jombang City Guide melakukan pengamatan senja

Penasaran dengan sejarah Kerajaan Majapahit yang penuh misteri, menggelitik para peneliti untuk melakukan penelusuran. Eskavasi yang dilakukan balai arkeologi Yogyakarta tahun 2005 yang dipimpin langsung oleh Pak Nurhadi Rangkuti menghasilkan temua yang mengejutkan. Penggalian patok batu di di depan rumah keluarga Cak Nun dipenuhi oleh pasir dan kerang sungai. Sedangkan kotak gali bahkan mengeluarkan air hanya dari kedalaman satu meter, meski penggalian dilakukan saat musim kemarau.


Penduduk setempat bahkan berkisah bahwa sering mendengar suara air di bawah lantai sungai mereka. Cerita penduduk setempat itu menguatkan bahwa air tanah yang ada di kawasan Menturo berada tak jauh dari permukaan. Dimana bila air tanah itu tak terlalu dalam, berarti ada aliran sungai bawah tanah. Bisa jadi air tanah itu merupakan sisa sungai kuno Menturo yang hilang.


Sungai Brantas memang tidak dapat dipisahkan dari hiruk pikuk aktivitas Kerajaan Majapahit bahkan juga kerajaan-kerajaan pra-Majapahit seperti Kahuripan dan Mataram Kuno. Sungai terbesar di Jawa Timur ini merupakan penggerak perekonomian dan jalur transportasi utama kala itu. Dermaga, penyeberangan dan desa-desa pelabuhan yang ramai seperti disebutkan di Prasasti Berangka terbitan Raja Hayam Wuruk.


Setelah melayari Sungai Brantas, perahu memasuki Sungai Watudakon ke arah selatan menuju Menturo, Tugu dan Badas. Setelah tiba di Badas, Yoni Naga Raja Badas yang merupakan tapal batas kota yang kini ‘hilang’, menyambut para tamu kerajaan. Dari Badas, dilakukan jalur darat menuju Ibukota Majapahit yang ada di Madyopuro.


Dalam ekspedisi Nurhadi Rangkuti itu, ditemukan pula sisa pemukiman kuno berupa tembikar, uang kuno, dan keramik yang diperkirakan berasal dari abad 13 hingga 15  yang kualitasnya tak jauh berbeda dengan yang ditemukan di Trowulan. Istimewanya, fragmen-fragmen yang ditemukan di Kagenengan, sebuah daerah yang agak lebih tinggi itu mengindikasikan pemukiman itu dihuni oleh kelompok masyarakat kelas atas.


Patok batu kuno di dekat Masjid Darussalam ini kini keadaannya sudah pernah dicat mungkin untuk kepentingan penghiasan jalan desa yang lazim dilakukan saat perayaan kemerdekaan. Tulisan Jawa Kuno yang terpahat di salah satu sisinya pun semakin sulit dibaca. Mungkin ada yang bisa baca tulisan jawa kuno? Oh ayolah tolong bantuin baca…. Jelasnya Jombang City Guide sangat penasaran…


Mungkin patok yang dimaksud Pak Nurhadi Rangkuti adalah dua patok lain di Desa Menturo, karena sebenarnya ada tiga patok lain yang ada di kampung halaman Emha Ainun Najib ini. Satu patok sudah patah karena ditabrak pedati, dan satu lainnya di halaman rumah penduduk yang mungkin belum kesampaian Jombang City Guide kunjungi. Pak Kepala Desa pasti dengan senang hati mengantarkan, namun karena hari sudah terlalu senja kesempatan itu mungkin belum bisa diwujudkan. Doakan.


Seperti desa kuno pada umumnya, dulunya Sumobito juga merupakan hutan belantara hingga akhirnya berubah menjadi pemukiman di zaman modern. Hutan belantara Sumobito, dipercaya sebagai salah satu jalur darat jalan masuk ibukota yang ada di Madyopuro dan menghubungkan rute Majapahit dan Daha di Kediri sebagai daerah bawahan.


Menturo atau Mentoro merupakan sebuah desa yang berada di kawasan Kecamatan Sumobito. Patok Batu Menturo, masih berada dalam satu kecamatan Sumobito bersama Desa Tugu dan Desa Badas yang juga memiliki tugu batu kuno yang tersebar di beberapa titik. Lokasinya yang dekat dengan Badas, memunculkan dugaan bahwa patok batu ini merupakan salah satu jalur masuk menuju Kota Raja Wilwatikta.


Sumobito, memang diyakini sebagai tapal batas ibukota sisi barat laut yang ditandai oleh adanya yoni naga raja seperti tiga titik lainnya. Sayangnya, di titik barat laut yang jatuh di Desa badas, tidak terdapat penanda apapun. Yoni naga raja yang biasa dianggap sebagai tapal batas kota telah ‘hilang’. Simak Misteri Tapal Batas Kota Badas Yang Hilang.


Di Kecamatan Sumobito tak jauh dari Desa Badas, juga terdapat Desa Madyopuro yang disinyalir kuat sebagai titik ibukota Majapahit berada. Kota Raja Majapahit kala itu memang disebut Madyopuro, dan syukurlah nama desa itu belum berubah hingga zaman modern.

Memang bila dikaji lebih lanjut dari tulisan Negarakertagama, ibukota Majapahit digambarkan sebagai kota yang megah dan terlindung dari parit-parit. Seperti yang disebutkan oleh Kitab Negarakertagama Pupuh VIII:1 yang membahas keajaiban kota :

Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus-menerus meronda, jaga paseban.

Parit yang dimaksud adalah sungai, dimana kata bersabuk mengindikasikan terdapat lebih dari satu sungai yang mengelilingi kota. Sabuk parit menandakan ibukota terlindung di balik sungai dan istana kerajaan aman berada di dalamnya.


Para tamu kerajaan biasanya berlayar dari Sungai Brantas seperti dalam kisah Tragedi Lapangan Bubat, dimana rombongan Kerajaan Pajajaran datang dari Tanah Pasundan dengan berlayar melalui Sungai Brantas. Saat tiba di Kerajaan Majapahit, rombongan kecil yang membawa Dyah Pitaloka Citraresmi untuk dinikahkan denga Prabu Hayam Wuruk tidak langsung memasuki istana kerajaan, melainkan menunggu di Lapangan Bubat dengan membangun perkemahan.


Meski akhirnya terjadi pertempuran yang tidak diinginkan, peristiwa tragedi Perang Bubat ini menunjukkan umumnya para tamu kerajaan tidak langsung masuk ke istana dan masih menunggu di ‘alun-alun’ kota karena letak istana yang masih tersembunyi, terlepas dari adanya negosiasi yang dilakukan petinggi Kerajaan Pajajaran untuk ‘memenangkan’ perang urat syaraf politik dua kerajaan kala itu.

Uniknya, ‘parit-parit’ ini tidak ditemukan di Trowulan. Hanya Jombang, satu-satunya kota di Jawa Timur dengan Mojoagung-nya yang memiliki bentang alam dengan sungai yang bercabang-cabang dan bermuara satu sama lain seperti sebuah benteng alami, yang mengindikasikan lokasi Ibukota Kerajaan Majapahit yang sebenarnya.

Tim Laskar Mdang sebagai kelompok pecinta sejarah Majapahit asal Jombang telah melakukan bedah Kitab Negarakertagama dengan menelusuri jalur-jalur sungai yang membentengi istana kerajaan. Tim arkeolog lokal Jombang inilah yang melakukan penemuan-penemuan penting mengenai berbagai sejarah mengenai Sang Wilwatikta hanya berdasarkan penguasaan wilayah lokal nJombangan dan pengetahuan berdasarkan catatan dalam Negarakertagama.


Dari kisah-kisah yang dituliskan Negarakertagama, Tim Laskar Mdang melakukan napak tilas dengan menelusuri jalur-jalur yang disebutkan. Daerah-daerah yang tersisa, umumnya masih mempertahankan nama kunonya, sehingga memudahkan penelusuran. Daerah yang namanya berubah biasanya tak berubah banyak, sehingga masih bisa dikenali.


Dari gambaran Pak Nurhadi Rangkuti, Menturo memang salah satu jalan menuju Majapahit, selain seribu jalan yang lain yang bisa dirunut ulang. Sungai yang hilang hanya salah satu bukti bahwa ibukota Majapahit memang dikelilingi oleh parit-parit, yang dikuatkan oleh penelusuruan Laskar Mdang.


Kesimpulan bahwa Mentoro dulunya merupakan salah satu pemukiman kelas atas makin menguat, didukung penemuan Laskar Mdang yang menemukan bahwa ibukota Sang Wilwatikta memang tak jauh dari Menturo. Sumobito sebagai tapal batas barat laut masih perlu digali lebih banyak lagi untuk memecahkan misteri Yoni Naga Raja Badas yang hilang, beserta istana kerajaan yang masih tersembunyi.


Patok Menturo di Dusun Mentoro hanyalah salah satu benang merah yang menyingkap misteri dimana ibukotra Kerajaan Majapahit bertahta. Istana kerajaan yang letaknya masih menjadi misteri merupakan tugas sekaligus amanah yang harus diemban warga Kota Santri untuk menjaga kelestariannya, dan menguak misterinya????!!!??


Patok Menturo
Jalan Kik Ronopati
Samping Masjid Darussalam, Desa Mentoro
Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang