Selain sebagai bagian dari ibukota Majapahit, Jombang juga merupakan wilayah ibukota Kerajaan Mataram Kuno atau yang kerap disebut Medang Kamulan pimpinan Raja Mpu Sindok. Dengan dua kerajaan besar yang bertahta di Jombang pada masa lalu, tentunya banyak benda peninggalan era kerajaan kuno yang ada di Jombang.
Sayangnya, tak banyak benda cagar budaya di Jombang yang berupa candi utuh. Peninggalan bersejarah di Jombang kebanyakan sudah runtuh, hilang, atau masih terkubur di dalam tanah. Tentu saja yang paling dikenal adalah Candi Rimbi, atau Candi Pundong. Padahal masih banyak candi peninggalan kerajaan terutama dari era Majapahit yang tertera di Kitab Negarakertagama.
Berbentuk tatanan balok |
Adalah Candi Mireng, yang merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit yang kini masuk dalam wilayah Dukuh Panasan, Dusun Mireng, Desa Sumberagung, Kecamatan Megaluh. Berada tak jauh dari Makam Panasan tepat di depan Musholla Panasan, Candi Mireng kini sudah berada dalam kondisi tinggal reruntuhannya saja.
Banyak peneliti yang menemukan benda purbakala, namun tak semua memahami maksud dari pembuatan benda purbakala berikut fungsi dan kisah yang menyertainya. Tim Laskar Mdang hadir atas kecintaan terhadap sejarah dan Kota Santri dengan melakukan bedah Negarakertagama. Bedah Negarakertagama yang dilakukan tim Laskar Mdang juga dilengkapi dengan ekspedisi di banyak titik khusus di wilayah Jombang yang disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama.
Reruntuhan Candi Mireng di depan Musholla Panasan |
Semua dilakukan untuk identifikasi benda purbakala dan mencocokkannya dengan apa yang dituliskan dalam Kitab Negarakertagama. Batasan wilayah Jombang dipilih selain sebagai kampung halaman Laskar Mdang, juga merupakan daerah yang diyakini sebagai lokasi ibukota Kerajaan Majapahit.
Tim Laskar Mdang mengunjungi Mireng untuk mencari lokasi candi pendermaan Lembu Tal di tahun 2014. Berdasarkan petunjuk yang tertera dalam Kitab Negarakertagama Candi Mireng dinyatakan sebagai salah satu titik yang disebutkan di dalam kitab karangan Mpu Prapanca itu.
Kala itu, ditemukan reruntuhan candi dengan batu andesit yang berserakan di depan Musholla Panasan. Tim Laskar Mdang pun melakukan analisa dan identifikasi termasuk menelusuri Kitab Negarakertagama.
Penelitian Laskar Mdang kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa reruntuhan candi Mireng merupakan lokasi perabuan Lembu Tal Sang Ksatria Yudha sekaligus ayahanda dari Raden Wijaya pendiri Wilwatikta. Selain itu Mireng adalah titik yang dimaksud di dalam Kitab Negarakertagama Pupuh 46 dan 47 yang merupakan tempat dicandikannya Lembu Tal.
Ini sesuai dalam Pupuh 46-47 Kakawin Negarakertagama yang menyatakan :
“Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal Sang Perwira Yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Budha. Dyah Lembu Tal itulah bapa Sri Baginda Nata.” (Negarakertagama : Pupuh 46-47)
Disebutkan di pupuh sebelumnya yakni Pupuh 46, Dyah Lembu Tal adalah Perwira Yudha. Dari penafsiran Siwi Sang dan Profesor Slamet Muljana, Dyah Lembu Tal adalah panglima perang di era Raja Kertanegara dari Singhasari, kerajaan sebelum Majapahit. Perannya begitu strategis sehingga sampai dituliskan dalam kakawin Negarakertagama, bahkan disanjung sebagai sosok yang gagah berani di medan perang. Bisa dibayangkan Sang Panglima menjadi penopang utama angkatan perang Kerajaan Singhasari.
Sosok Dyah Lembu Tal yang dipuji dalam Kitab Negarakertagama disebutkan letak pendermaannya. Disebutkan dalam Pupuh 46, ayahanda Sang Raja dimakamkan dalam sebuah candi di Mireng dengan arca Budha. Arca Budha juga menjadi pertanda bahwasanya Lembu Tal beragama Budha, salah satu agama yang dianut penduduk Majapahit kala itu.
Jombang City Guide yang mendatangi reruntuhan Candi Mireng sangat takjub melihat puing-puing candi perabuan yang dinaungi pohon-pohon besar nan rimbun ini terbuat dari batu andesit. Padahal umumnya candi-candi peninggalan Majapahit terbuat dari batu bata. Batu andesit adalah pertanda bahwa posisi sosok yang terkait dengan candi ini begitu dihormati sehingga dicandikan dengan bahan istimewa lengkap dengan arcanya.
Bentuk awal Candi Mireng kini sudah tidak bisa diperkirakan lagi karena hanya berupa reruntuhannya saja. Tinggal puing-puing berbentuk balok-balok batu yang siku saja yang berserakan dan ditata enam deret membentuk persegi panjang berjajar mirip tatanan makam. Meski demikian, candi berupa puing-puing yang dulunya sebagai penyusun pendermaan masih bisa dikenali dengan jelas.
Dibentuk seperti makam |
Arca Budha yang dulunya melengkapi Candi Perabuan Sang Perwira Yudha, kini sudah tidak ada lagi. Bisa jadi hilang atau masih terkubur di bawah tanah. Padahal, jika masih terdapat arca, lokasi ini lebih mudah dikenali dan nantinya akan sangat membanggakan Jombang karena menjadi salah satu titik yang disebutkan dalam kitab yang menceritakan seluk beluk kerajaan berjuluk Wilwatikta ini.
Bisa jadi, di dalam tanah masih ada peripih candi yang berisi abu Sang perwira Yudha yang didermakan di Candi Mireng. Peripih yang merupakan tempat menyimpan abu jenazah adalah kotak hitam yang merupakan jantung sebuah candi pendermaan, seperti yang ditemukan di Candi Pundong.
Masjid di samping Candi Mireng |
Karena merupakan tempat bersejarah, tak jarang para pencari wangsit nyekar di reruntuhan Candi Mireng. Mereka membawa sesajen dan melakukan ritual nggak-nggak yang kadang cukup meresahkan warga. Berkaca dari pengalaman ini, warga setempat kemudian membangun masjid di samping puing-puing candi untuk ‘mengimbangi’ kekeramatan reruntuhan kuno ini yang kemudian dinamakan Musholla Panasan. Alhamdulillah, dengan adanya Musholla Panasan, kini para pencari wangsit agak sungkan-sungkan gimana gitu untuk melakukan ritual yang menjurus pada kesesatan akidah.
Sesajen |
Untuk menuju ke Candi Mireng, kita langsung saja mengandalkan panduan Google Maps dimana Candi Mireng sudah dirilis sebagai lokasi bangunan bersejarah. Bertempat di depan Mushollla Panasan, Candi Mireng tak terlalu sulit dicapai dengan tanpa campur tangan Google Maps.
Dari arah Jombang Kota menuju Tembelang, kita menyusuri Jalan Abdul Wahab Chasbulloh. Dari situ kita lurus saja ke arah jalur Ploso. Sebelum pintu tol Jombang, kita akan menemukan jembatan tol melintang di atas jalan raya. Belok gang pertama di kiri jalan, lurus saja hingga menemukan Tugu Mireng yang tepat berada di pertigaan. Setelah Tugu Mireng, belok kiri hingga menemukan makam desa panasan yang berseberangan dengan Musholla Panasan. Candi Mireng tepat berada di pelataran Musholla Panasan lengkap dengan pagarnya.
Mireng kini tidak lagi menjadi dermaga utama dan transportasi perairan, karena pergeseran teknologi dan perkembangan zaman. Meski demikian, desa kecil ini masih menjadi lokasi penyeberangan dengan perahu tradisional yang masih cocok untuk wisata tipis-tipis untuk anak-anak. Penyeberangan dengan perahu tradisional berupa rakit ini lebih dikenal dengan istilah ‘nambang’, yang berasal dari kata tambang yang artinya menyeberangi sungai dengan tali tambang.
Memang, Mireng bertempat di Megaluh yang merupakan tepi Sungai Brantas yang kala itu menjadi desa pelabuhan dan sarana transportasi utama mobilisasi penduduk. Selain itu, megaluh adalah bagian dari pelabuhan kuno yang ramai karena merupakan bagian dari ibukota Kerajaan Mdang yang berada di Tembelang. Tak heran, banyak peninggalan era Mataram Kuno maupun Majapahit tersebar di Megaluh dan sekitarnya seperti Candi Tamping Mojo, Petilasan Damarwulan, maupun bakalan prasasti.
Mireng, bisa jadi juga merupakan sebagai dermaga biasa yang tak jauh dari Watudakon . Watudakon sendiri adalah salah satu pintu gerbang masuk kerajaan Majapahit dari perairan. Sungai Brantas dulunya juga lebih besar dan lebar dua atau tiga kali lipat dari ukuran sekarang. Penyusutan ukuran ini bisa jadi karena pendangkalan sungai maupun hanyutnya material sungai.
Tahun 2018 team Laskar Mdang kembali mengunjungi lokasi untuk melihat kondisi tempat Lembu Tal dicandikan. Rupanya, penduduk desa sudah paham dan peduli dengan warisan sejarah berupa benda purbakala yang ada di desanya. Candi Mireng belum tersentuh oleh BPCB Trowulan, sehingga penduduk setempat secara mandiri dengan alokasi anggaran dana desa memasang pagar di sekeliling candi.
Sudah menjadi rahasia umum bila menunggu dana dari Disbudpar dan pengesahan dari BPCB Trowulan, dirasa terlalu lama hingga berganti-ganti periode kepemimpinan. Seringnya kejadian saling lempar antara pemerintah kabupaten, dinas kebudayaan dan pariwisata, dan BPCB Trowulan membuat para pecinta sejarah bosan. Melihat ketidak-kondusifan ini, upaya pengamanan benda cagar budaya ini harus dilakukan pertama kali secara swadaya.
Warga setempat telah membuat pagar stainless yang mengelilingi enam deret balok batu kunoi ini. Upaya mandiri warga seakan memberikan perlindungan sementara untuk benda purbakala di depan Musholla Panasan ini. Dengan adanya pagar, menjadikan para pengutil benda purbakala atau pencuri nganggur yang kebetulan rumahnya bocor ‘lebih sungkan’ dan tidak mengambil batu candi secara sembarangan.
Besar harapan Laskar Mdang dan Jombang City Guide, penduduk desa serta para pecinta sejarah Jombang maupun penggemar kejayaan Wilwatikta untuk upaya lebih dari pihak yang berwenang, supaya dilakukan eskavasi dan restorasi candi pendermaan salah satu orang terpenting di masa Kerajaan Singhasari dan Majapahit ini sehingga sisa peninggalan purbakala di Jombang yang hampir lenyap ini tetap lestari.
Candi Mireng
Pelataran Masjid Panasan
Dukuh Panasan, Dusun Mireng,
Desa Sumberagung, Kecamatan Megaluh
Kabupaten Jombang