Peninggalan purbakala selalu dikaitkan dengan era Majapahit, padahal faktanya tak selalu demikian. Nyatanya, Jombang merupakan lokasi dimana dua kerajaan menempatkan ibukotanya. Dua kerajaan itu adalah Majapahit Wilwatikta dan Mataram Kuno dinasti Isyana. Dengan dua kerajaan besar yang bertahta di Jombang pada masa lalu, tentunya banyak benda peninggalan era kerajaan kuno yang ada di Jombang.
|
Susunan bata kuno |
|
Ditumbuhi tanaman liar |
Sayangnya, tak banyak jejak Mataram Kuno yang bisa direkam dari kerajaan permulaan di Jawa Timur ini. Sang Medang Kamulan atau Medang Permulaan, tak memiliki banyak peninggalan berupa benda purbakala seperti Majapahit atau Kahuripan. Bisa jadi karena usianya yang terlalu tua sehingga artefaknya pun rusak dimakan usia, sudah musnah, masih terkubur di dalam tanah atau dirusak oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab.
Hanya beberapa prasasti Medang Kamulan yang tersebar di lingkup kekuasaan Mataram Kuno, sedangkan candi yang disebutkan dalam isi batu bertulis itu keberadaannya masih belum terkuak. Meski demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali. Candi Pundong adalah salah satu yang tersisa dengan bentuk yang ‘agak’ lumayan utuh meski sebagian besar badan candi masih terkubur di dalam tanah.
Sedangkan candi peninggalan Mataram Kuno yang lain seperti Petilasan Damarwulan, Situs Sugihwaras dan puing-puing candi yang ditemukan di Dusun Tampingan, Desa Tamping Mojo, Mojokrapak-Tembelang, menunggu untuk diungkap misterinya. Lokasinya masih satu desa dengan Situs Medelek yang berada di Dusun Medeleg yang tak jauh dari Dusun Tampingan.
|
Bata kuno berukuran besar |
Kerajaan Medang Kamulan, merupakan lanjutan dari Mataram Kuno dipimpin oleh Mpu Sindok yang bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana. Mpu Sindok kemudian mendirikan dinasti baru yang disebut Wangsa Isyana yang namanya didapatkan dari gelarnya. Setelah Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra di Jawa Tengah runtuh, Wangsa Isyana pun melanjutkan Kerajaan Medang Kamulan dan memilih kawasan Tembelang di Jombang sebagai ibukota barunya.
Candi Tamping Mojo berada tak jauh dari jembatan yang merupakan bagian dari tol Jombang-Mojokerto. Untuk mencapainya punya rute awal yang mirip dengan rute awal menuju Candi Mireng yang berada di kecamatan seberang Kecamatan Tembelang. Dari arah Jombang Kota menuju Tembelang, kita menyusuri Jalan Abdul Wahab Chasbulloh. Dari situ kita lurus saja ke arah jalur Ploso. Sebelum pintu tol Jombang, kita akan menemukan jembatan tol melintang di atas jalan raya.
Bila rute Candi Mireng kita belok gang pertama di kiri jalan, jalur menuju Candi Tamping Mojo mengharuskan kita belok ke gang pertama di kanan jalan. Lurus saja ikuti jalan hingga bertemu dengan spanduk penunjuk jalan dan jembatan tol yang kedua. Setelah melalui jembatan tol yang kedua, kita belok ke kanan dan lanjut hingga menemukan gapura Desa Tamping Mojo. Lokasi Candi Tampingan berada di seberang deretan gapura, di pekarangan belakang rumah salah satu warga.
|
Gapura di Desa Tampingan |
Candi Tampingan, atau Candi tamping Mojo diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan Mataram Kuno karena berada di kawasan Tembelang yang dulunya diyakini merupakan ibukota Kerajaan Mataram Kuno. Lokasi penemuan juga merupakan cikal bakal pemberian nama candi yang kemudian diberi nama sesuai nama desanya, Candi Tamping Mojo. Kadang disebut pula sesuai nama dusunnya dengan Candi Tampingan, seperti yang tertera dalam arahan Google Maps.
Meski demikian, penduduk lebih sering mengenal Candi Tamping Mojo dengan Buyut Candi. Penyebutan ini didasarkan usia candi yang sudah sangat tua sehingga dianggap sebagai ‘buyut’ para candi ataupun peninggalan sesepuh desa setempat. Uniknya, Candi Tamping Mojo ini berada di belakang pekarangan rumah warga. Jadi untuk melihatnya, harus mengetuk pintu Si Empunya Rumah dahulu.
|
Bu Sudarti di depan kediamannya |
|
Bu Sudarti dan Jombang City Guide |
Adalah Bu Sudarti yang beruntung memiliki lahan yang di pekarangannya terdapat sebuah candi peninggalan kerajaan kuno. Di antara puing-puing yang ditemukan tersebar di pekarangan rumah Bu Sudarti memiliki ciri khas berupa batu bata dengan ukuran besar berukuraan sekitar 20 cm x 40cm dengan tipikal berhias ukiran seperti peninggalan Mataram Kuno lainnya yang ditemukan di artefak Prasasti Tengaran, Petilasan Damarwulan dan Situs Sugihwaras.
|
Bata dengan ukiran |
|
Perbandingan ukuran bata kuno dengan bata zaman modern |
|
Pecah namun masih terlihat ukirannya |
Bentuk awal candi mungkin sudah sulit diperkirakan lagi karena banyak materialnya sudah berupa puing-puing yang berserakan di sekitarnya. Yang tersisa hanyalah susunan mirip tangga candi berbahan bata kuno dengan bentuk yang sudah tidak beraturan. Beberapa bata ada yang masih utuh, namun kebanyakan sudah pecah hingga tak terlihat kalau ukurannya lebih besar dari bata modern.
|
Sisa candi |
|
Tanda putih |
Uniknya, di satu sudut candi yang tersisa terdapat tanda bulatan putih seperti layaknya tombol. Meski tidak timbul seperti tombol sesungguhnya dan hanya berupa lukisan saja, Jombang City Guide cukup tertarik dengan tanda ini. Entah siapa yang membuatnya, namun ‘tombol’ ini seperti sebuah penanda sesuatu. Namun sayang sekali, seperti halnya misteri Candi Tampingan, belum ada catatan tertulis mengenai tanda ini.
|
Mirip Tombol |
|
Entah siapa yang membuatnya |
Berbeda dengan Majapahit yang memiliki Negarakertagama sebagai buku petunjuk yang bisa menggambarkan suasana era Wilwatika, Mataram Kuno Wangsa Isyana tidak memiliki Kitab apapun sebagai acuan sejarah. Hanya ada beberapa prasasti warisan Sang Isyana yang bisa memberikan gambaran tentang situasi yang terjadi di era Mataram Kuno Jawa Timuran berikut beberapa artefak yang tersebar di sekitar Tamwlang.
|
Belum bisa dibaca |
|
Mirip tangga |
Titik lokasi Candi Tamping Mojo tidak disebutkan dalam kitab apapun, sehingga tidak diketahui fungsi maupun asal usul candi. Apakah Candi Tampingan ini adalah sebuah candi pemakaman, atau sekedar candi pemujaan. Candi Tamping Mojo tak bisa ‘dibaca’ Bisa jadi karena belum ditemukannya bukti autentik yang bisa menjelaskan fungsinya maupun belum terkuaknya misteri mengenai asal-usulnya.
Secara keseluruhan, reruntuhan Candi Tamping Mojo berukuran 1,5m x 2m dengan ketinggian sekitar 1 meter. Di samping puing-puing candi juga ditemukan dua arca yang terbuat dari batu andesit. Arca tersebut sejatinya merupakan sebuah pecahan kucur candi dan yoni kecil dengan hiasan ukiran naga raja.
Kucur Candi
|
Sebuah yoni kecil |
Adanya yoni mengindikasikan bahwa lokasi ini adalah tempat pemujaan atau mungkin pemakaman. Yoni sendiri, adalah semacam petirtaan air suci yang digunakan oleh para penganut agama Hindu di masa lalu untuk membasuh wajah dan beberapa bagian tubuh sebelum melakukan persembahyangan. Miriplah dengan umat muslim yang harus berwudlu dulu sebelum mendirikan sholat.
|
Masih bercerat |
|
Ukiran kepala naga raja |
Yoni ini berukuran sangat kecil dibandingkan Yoni Gambar di Sedah-Mojowarno, bahkan sedikit lebih kecil dari ukuran yoni polos yang ditemukan di Kademangan, Badas-Sumobito, bahkan di Situs Pandegong. Meski kondisinya tanpa lingga dan sudah pecah terbelah beberapa bagiannya, namun ceratnya untuk pancuran air masih tersisa. Istimewanya, terdapat pahatan naga raja yang masih jelas terlihat saat Jombang City Guide mengunjungi Yoni di Buyut Candi ini.
Meski Yoni berukuran sangat kecil, hiasan naga raja mengindikasikan lokasi ini bukan tempat biasa. Ada kemungkinan bila fungsinya sama dengan Yoni Sedah, Buyut Candi dulunya adalah tapal batas kota Tamwlang yang menjadi pusat kerajaan Mataram Kuno yang kerap disebut Keraton Bajang.
|
Yoni Naga Raja Kecil |
Dulunya, saat membeli lokasi ini Bu Sudarti menjadi satu-satunya peminat lahan yang berupa kebun yang penuh dengan semak-semak dan pepohonan. Lalu setelah dibersihkan, terlihat ada puing-puing candi sehingga membuat pekarangan rumah yang akan dibangun menjadi ramai oleh penduduk yang ingin melihat reruntuhan candi.
|
Halaman belakang rumah Bu Sudarti |
Lahan ini dulunya kurang diminati karena tidak ada yang mau memilikinya, bisa jadi karena khawatir akan kekeramatan tempat ini. Kini, di atas lahan yang dimilikinya, Bu Sudarti sudah membangun rumah tinggalnya. Pekarangan belakang rumah digunakan untuk kandang ayam.
|
Berlarian bersama ayam |
Banyak orang yang datang ke rumah Bu Sudarti hanya karena ingin mengunjungi Si Buyut Candi ini. Mereka yang datang ini umumnya para pencari wangsit yang sama sekali tak mengerti sejarah Buyut Candi. Tak jarang dari yang datang dengan membawa sesajen yang digunakan untuk ritual tertentu di samping Buyut Candi yang kadang menjurus ke perilaku musyrik.
Tak mengira akan menjadi ramai karena adanya benda cagar budaya di pekarangan belakang rumahnya, Bu Sudarti dan keluarga kadang sudah cukup jengah dengan ritual yang dilakukan oleh para pencari wangsit ini. Seringnya intensitas para pencari wangsit datang dengan melakukan ritual ke Buyut Candi dengan segala tetek bengek sesajian pemujaan. Hal ini pun membuat pemilik rumah cukup kewalahan, bahkan sangat lelah membersihkan sisa sesajen yang diletakkan para ‘peziarah’.
Kadang karena saking jengkelnya, Bu Sudarti dan keluarga meminta pihak BPCB Trowulan untuk membawa seluruh material candi di pekarangan belakang rumahnya untuk dibawa ke Museum Trowulan.
Sayangnya keinginan ini tampaknya sulit dipenuhi, karena benda cagar budaya di belakang pekarangan rumah Bu Sudarti bukan hanya arca maupun yoni yang dengan mudahnya bisa dibawa ke Museum Trowulan seperti yang terjadi dalam penemuan potongan kepala arca di Situs Pandegong, melainkan berupa candi yang bahkan sebagian besar bagiannya mungkin masih terkubur di dalam tanah.
Buyut Candi sudah pernah ditinjau oleh BPCB Trowulan dan kini sudah menjadi bagian dari benda cagar budaya yang ada di Kota Santri Jombang Beriman. Buyut Candi sebenarnya bukan temuan baru di Jombang, namun warga sepertinya baru heboh setelah dilakukan pembersihan pekarangan.
Karena tak ada perawatan intensif, kondisinya pun memprihatinkan. Kondisinya hanya susunan batu bata, tak menghentikan para pencari wangsit untuk mendatanginya. Meski demikian, Pemerintah Kabupaten bergeming sehingga BPCB Trowulan hanya melakukan pendataan dan mengkategorikannya sebagai benda cagar budaya.
Kini bagi pengunjung yang ingin melihat Candi, pemilik rumah melarang para ‘peziarah’ yang membawa sesajen dan melakukan ritual untuk mengunjungi Buyut Candi. Upaya ini dilakukan Bu Sudarti dan keluarga karena tak mau menjembatani perilaku musyrik yang menjangkiti para pengunjung yang melakukan ritual tertentu.
Selain itu, Bu Sudarti juga ingin menjaga kelestarian benda cagar budaya yang ada di belakang pekarangan rumahnya untuk meminimalkan kerusakan akibat terlalu sering dikunjungi. Apalagi, adanya sebagian masyarakat yang masih berusaha menjadikannya tempat keramat untuk ritual tertentu, membuat warga setempat mengancam untuk merusak Buyut Candin supaya tidak dijadikan sarana perilaku yang menjurus pada kesesatan.
Candi kuno yang tersusun dari batu bata dan tinggal puing-puingnya ini masih aman di pekarangan belakang rumah Bu Sudarti. Bagi para peneliti dipersilakan untuk melihat langsung benda purbakala ini dan membantu menguak sejarah dan asal-usul reruntuhan Buyut Candi. Kini Candi Tampingan merupakan salah satu candi yang ada di Jombang yang tersisa, tinggal kita sebagai warga Kota Santri yang mencintai kampung halamannya yang harus turut dalam upaya kelestariannya, bukannya malah cari wangsit. Semoga pemerintah berkenan untuk melakukan restorasi.
Candi Tamping Mojo
Candi Tampingan / Buyut Candi
Dusun Tampingan, Desa Tamping Mojo,
Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang