Kudu Green Road




Kudu adalah salah satu dari total 20 kecamatan yang tergabung dalam Kabupaten Jombang. Seperti kecamatan-kecamatan lain di Jombang pada umumnya, KecamatanKudu juga menyajikan pemandangan hijau di kanan dan kiri jalan.





Meski belum sempat mengunjungi Goa Made di daerah Kudu, yang menyimpan misteri sejarah peradaban yang bisa saja mengubah peta sejarah dunia, pemandangan Kudu yang harusnya biasa-biasa saja ini tetap menimbulkan kerinduan bagi warga Jombang yang merantau ke berbagai kota atau bahkan ke seluruh penjuru dunia.


Kemanapun kita pergi, Jombang akan selalu kita rindukan,
 

Hmm..... mirip seperti gambar kita waktu di TK ya???

Perahu berhias kepala naga, kerap digunakan dalam kompetisi balap kano di banyak tempat di Indonesia. Kota-kota seperti Kutai Kartanegara, Surabaya dan banyak kota di Sumatera sering menggelar festival perahu naga tahunan sebagai bagian dari event rutin kotanya. Jombang memang tak punya kompetisi yang demikian untuk meramaikan Sungai Brantas. Namun Jombang punya wahana transportasi tradisional berupa rakit yang biasa digunakan oleh para penduduk untuk menyeberangi Sungai Brantas yang uniknya : perahunya berhias kepala naga.

 

Wahana transportasi tradisional ini merupakan perahu yang digunakan untuk menyeberangi Sungai Brantas. Kedua dermaga menghubungkan antara Megaluh dan Gebang Bunder, Plandaan. Berfungsi sebagai semacam kapal feri versi tradisional, transportasi ini sering disebut tambang oleh penduduk setempat. Meski tradisional, beberapa penyedia jasa ini menghiasi kapalnya dengan hiasan kepala naga layaknya sebuah Yoni. Jadi, kegiatan nambang serasa seperti sebuah tamasya! Hehehhehe….

Nambang, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas menyeberangi sungai naik perahu rakit atau getek. Istilah nambang berasal dari kata tambang yang artinya tali kekang yang besar dan kuat yang biasanya dipakai untuk lomba tarik tambang. Sedangkan lokasi dermaga pendaratan perahunya kerap disebut Tambang atau Tambangan. Dulunya, para nahkoda perahu tambang ini menggerakkan perahunya dari sisi satu sungai ke sisi lainnya dengan menarik tali tambang untuk mencapai seberang sungai.

Perahu yang digunakan untuk nambang biasanya berupa rakit atau getek. Getek atau  rakit adalah perahu tradisional yang disusun dari bambu. Kini, rakit-rakit penyeberangan ditopang dengan tong tertutup sebagai ruang udara untuk menjaga rakit tetap mengapung. Rakit tambang ini sangat kuat dan bisa mengangkut banyak orang, bahkan kendaraan bermotor. Bila perahunya besar, nambang juga bisa mengangkut mobil.

Penggunaan nambang, didasarkan belum adanya jembatan yang menghubungkan lokasi, sedangkan para pengendara harus memutar terlalu jauh untuk menuju titik yang dimaksud. Selain mengakibatkan jarak tempuh yang lebih panjang, tidak adanya efisiensi waktu. Karena nambang dirasa lebih praktis, banyak penduduk yang masih menggunakan jasa ini. Untuk mempersingkat waktu dan memangkas jarak memutar, adanya ‘kapal feri’ berupa perahu tambang ini sangatlah bermanfaat. Dari sinilah, transportasi penyeberangan sungai berupa perahu nambang ini masih diminati warga.

Jombang City Guide sudah pernah membahas mengenai wisata nambang ini namun berada di regional Mireng, sisi lain dari Megaluh. Bedanya, penyeberangan rakit di Nambang Mireng hanya untuk orang dan kendaraan roda dua, sedangkan di Gebang Bunder bisa untuk beberapa kendaraan roda empat sekaligus. Luar biasa!

Karena bisa mengangkut beberapa mobil sekaligus sekali jalan, transportasi tradisional ini tak lagi menggunakan metode kuno dengan menarik tali tambang untuk menjalankan perahunya menyeberangi sungai. Perahu-perahu ini sudah menggunakan tenaga mesin diesel untuk menggerakkan kapal rakitnya layaknya perahu motor pada umumnya. Peralihan metode penggerak penyeberangan ini tidak serta merta menjadikan ‘ndiesel’ untuk menggantikan istilah ‘nambang’. Hingga kini, istilah nambang masih dipertahankan untuk menyebutkan aktivitas penyeberangan sungai dengan perahu rakit.

Saat pertama kali mencoba 'wahana' ini dengan kendaraan roda empat, Jombang City Guide merasa takut-takut gimanaaaa gitu. Kuatir tenggelam karena mobil bukan benda yang ringan, bukan??? Tapi kenapa bisa mengangkut sampai empat mobil??? Tapi melihat para pengendara lain, mobil-mobil lain dan mendengar kisah-kisah penyeberangan sebelumnya, rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Tapi tetap khawatir. Mau teriak kok gengsi. Xixixixi....

Sepanjang perjalanan penyeberangan, semua pengendara lain duduk di kendaraannya dengan tenang. Para penumpang mobil bahkan bisa turun dari mobilnya dan berlarian di sisi perahu yang kosong. Beberapa diantaranya banyak yang mengambil gambar. Sembari menyeberang sambil berdoa kuatir kelelep, bapak Bayi Jombang City Guide mengomel karena khawatir. Beda ya : Satu berdoa, satunya ngomel.

Setelah sampai di dermaga seberang dan mendarat dengan aman, rupanya ketakutan tadi tiada guna. Yang ngomel pun sudah berhenti karena kekhawatiran tak terbukti. Sebuah pengalaman yang wajib diulang! Pengalaman sederhana yang cukup mengasyikkan, mengingat ini kali pertama Rombongan Jombang City Guide mencobanya. Sebuah wahana 'rekreasi' yang cukup menyenangkan! Begitu berkesan.

Silau Men : Eh, salah. Silau Cyiiin...

Dulunya, Sungai Brantas berukuran tiga atau empat kali lebih lebar dari yang sekarang. Pendangkalan serta material sungai yang terbawa hanyut oleh aliran air membuat ukurannya menyempit menjadi seperti sekarang. Namun meski ukurannya agak mengecil, Sungai Brantas tetap menjadi yang terbesar di Jawa Timur.


Sungai legendaris ini bahkan menjadi dermaga internasional yang begitu ramai untuk jalur perdagangan. Memang, transportasi utama mulai Kerajaan Mataram Kuno hingga era Majapahit melalui sungai. Bisa jadi karena jalur darat begitu sulit ditempuh karena medan terjal, ancaman perampokan, maupun bahaya dari binatang buas seperti yang tertera di Kitab Negarakertagama.

Karena sejarah panjang yang melibatkan Sungai Brantas, jangan heran bila banyak tersebar peninggalan kerajaan kuno, tak Jauh dari pesisir sungai. Situs Purbakala yang masih dalam satu kecamatan Megaluh yaitu Candi Mireng di Dukuh Panasan dan Petilasan Dhamarwulan di Sudimoro membuktikannya.  Sedangkan Candi Tamping Mojo yang juga cukup dekat, berada di desa seberang yang masuk Kecamatan Tembelang.
  
Rekreasi nambang perahu naga ini sebenarnya bukan wisata sama sekali, tapi lebih tepatnya berupa moda transportasi tradisional yang terbuka untuk siapa saja. Namun, di zaman modern ini sudah jarang ada penyeberangan dengan moda transportasi tradisional, dan bisa dijadikan wahana rekreasi yang menarik untuk anak-anak dari perkotaan. Sesuatu yang mungkin belum pernah mereka kenal karena lengkapnya infrastruktur yang ada di perkotaan.

Keponakan Jombang City Guide yang berasal dari Bekasi, begitu girang saat mencoba ‘wahana’ ini. Terlebih lagi, rakit yang digunakan begitu besar dan berhias perahu naga di bagian depannya. Selain tampak begitu apik dan mempesona, rakit ini juga mampu mengangkut beberapa kendaraan roda empat sekali jalan. Para keponakan ini sampai tak mau turun dan menyeberang dengan rakit ini hingga berkali-kali. Meski sudah bolak-balik menyeberang dan belum puas, akhirnya percil-percil ini harus rela menghentikan kebahagiaannya karena harus melanjutkan perjalanan. Yah kalau dituruti sih sampe sore jelas gak selesai-selesai.

Manusia Bekasi kegirangan benar melihat panorama Sungai Brantas
Ada banyak penyedia jasa penyeberangan di tambangan di sepanjang Sunga Brantas, yang bisa jadi dermaga-dermaga yang ada sekarang adalah sisa ataupun kelanjutan dari pelabuhan kuno di era kerajaan kuno. Dari sekian banyak perahu rakit penyedia jasa tambangan yang beroperasi, tentunya yang paling spesial adalah perahu dengan hiasan kepala naga di bagian depannya.

Meski demikian, perahu-perahu lain yang tanpa dihiasi kepala naga di bagian depannya juga tetap diminati warga lebih karena karena fungsinya sebagai penyedia jasa penyeberangan sungai. Lain lagi kalau seperti percil-percil Jombang City Guide yang memang niat ‘wisata’ nambang menyeberangi sungai, mereka jelas butuh hiasan naga-nya laaah...

Jika pemerintah setempat bisa mengelola dan memanfaatkan potensi wisata ini, bukan tidak mungkin pengunjung dari luar daerah akan berbondong-bondong datang mencoba wahana transportasi tradisional yang unik dan menarik ini. Pun bila pemerintah bergeming mengenai potensi ini, wisata naik perahu naga menyeberangi sungai ini bisa dikembangkan lagi secara swadaya, mengingat tren banyaknya tempat wisata yang bermunculan dan digagas oleh warga sendiri.

Di Jember, penyeberangan dengan rakit ini dikemas sedemikian rupa hingga menjadi sebuah jujugan wisata yang menarik. Wisata perairan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap bisa menjadi daya tarik yang mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya masing-masing penumpang disediakan pelampung untuk keselamatan, meski penyeberangan relatif aman. Para penumpang duduk berderet di kursi yang ada di rakit yang sudah dihias sebagai ‘pemanis’ kegiatan wisata.

Jombang pun sebenarnya bisa melakukan hal yang sama. Misalnya dengan membuka dermaga penyeberangan baru yang khusus untuk wisata penyeberangan sungai, atau keliling sungai seperti naik cruise di Sungai Boshporus di Istanbul, Turki.

Perahu-perahu berkepala naga diperbanyak kapasitasnya. Untuk makin meyakinkan pengunjung tentang keselamatan selama berwisata, para peserta bisa dipakaikan pelampung ala wahana wisata air seperti di Jember. Selain memenuhi safety standard, juga keren dalam penampilan.

Selain banyaknya manfaat dari kegiatan yang sepele ini, wisata menyeberangi sungai adalah salah satu low budget tourism yang cukup seru dilakukan. Anak-anak yang turut serta dalam rombongan Jombang City Guide senang sekali dengan kegiatan ini.


Sebenarnya dari aktivitas nambang ini, selain menyeberangi sungai kita bisa juga menikmati keindahan pemandangan perairan yang bersih tentunya.  Selain sebagai sarana cuci mata yang murah, menikmati indahnya pemandangan perairan juga membuat kita bisa mengamati habitat sungai dan sekelilingnya.

Banyak tanaman yang tumbuh di sepanjang sungai, termasuk sayur-sayuran air yang ditanam penduduk setempat dan Bunga Widuri yang begitu indah dan unik, dan merupakan bunga favorit Jombang City Guide selain Bunga Jombang. Selain berwisata menyeberangi sungai, kita juga bisa thenguk-thengukdi pinggir sungai. Bersantai dan memandangi sungai, termasuk suatu hal yang mungkin sudah jarang Jombang City Guide lakukan karena kesibukan mencari nafkah di weekdays.

Pemandangan di sungai terpenting di Jawa Timur ini juga tak kalah indah dengan sajian panorama di pesisir seperti di sepanjang pantai utara dan selatan Jawa. Sungainya relatif bersih dan lebar. Kita bahkan bisa saksikan pemandangan matahari terbenam bila berada di lokasi saat senja menjelang petang. Siluet perahu yang berlalu lalang berlatar langit senja tampak begitu mempesona.

Spot Senja Paling Mempesona Seantero Jombang

Banyak artikel yang menuliskan bahwa inilah spot terbaik di Jombang untuk mendapatkan pemandangan cantik Sang Senja yang mempesona. bBisa dikatakan, dari titik ini pemandangan yang didapat cukup lengkap. Mulai mentari senja yang terbenam dengan indahnya, sekaligus pantulannya di air sungai berbingkai pepohonan di tepiannya. Ciamik broh….!!!


Hanya saja, memang saat petang anak-anak tidak disarankan berada di luar rumah karena pancaran inframerah begitu mendominasi sehingga energi makhluk alam lain yang sedang kuat-kuatnya bisa mengganggu ketentraman kita semua. Lagian, waktunya sholat maghrib juga laaah… mendingan jamaah di langgar terdekat! Jadi, Jombang City Guide belum berkesempatan untuk kelayapan maghrib-maghrib demi berburu foto. Foto yang dipajang, masih meminjam dari googling di Gmaps. Matur nuwun, local guide….


Intinya, menyeberangi Brantas dengan perahu naga ini selain sebagai moda transportasi juga bisa menjadi sebuah edukasi dan wisata pengenalan bagi anak-anak mengenai kendaraan tradisional di masa lampau yang masih digunakan di zaman modern. Biasanya anak-anak perkotaan di zaman modern sudah jarang yang mengetahui eksistensi jasa penyeberangan sungai dengan menggunakan perahu rakit.

Dari wisata tipis-tipis naik perahu naga di Megaluh ini, kita juga sekaligus menapak tilas masa-masa dimana sungai ini berjaya sebagai jalur transportasi utama pelayaran. Bayangkan, kapal-kapal perdagangan dan kerajaan berlalu-lalang dan berlabuh di dermaga ini. Miriplah seperti Raja Hayam Wuruk Sang Prabu Wilwatikta pulang dari Blitar dan mendarat di Bekel-Perak, tak jauh dari Megaluh. Sang Baginda melalui Sungai Konto dengan mengendarai jukung yang aliran sungainya bermuara di Sungai Brantas.


Aktivitas nambang kini sudah jarang dilakukan oleh pendududuk perkotaan, mengingat mereka sudah memiliki kendaraan sendiri dan sudah sangat majunya infrastruktur yang tersedia. Nambang masih banyak dilakukan di desa atau wilayah yang biasanya tidak terdapat jembatan penyeberangan yang layak. Namun, moda transportasi tradisional ini masih diminati pemudik ketika musim lebaran tiba.

Bisa jadi dengan adanya tol Trans Jawa volume pemudik yang menggunakan jasa ini mungkin akan berkurang. Apalagi bila proyek jembatan Ploso tambahan yang rampung mungkin jasa ini makin sepi seperti bisnis kapal feri yang ada di penyeberangan Surabaya-Madura akibat adanya Jembatan Suramadu.


Yang jelas, kita tidak bisa melawan kemajuan zaman dan pembangunan infrastruktur merupakan sebuah upaya pemerintah untuk memajukan negeri. Rezeki, Allah yang mengatur, dan bagaimana kita menjemputnya dengan cara yang halal supaya berkah. Mungkin, Wisata Nambang Perahu Naga bisa dirintis mulai sekarang sebagai bentuk alternatif tambahan keuntungan. The Blue Ocean Strategy.

Semoga dengan ditulisnya artikel ini, bisa menjadi inspirasi masyarakat untuk memanfaatkan hal sederhana sebagai hiburan yang mendatangkan keuntungan yang mungkin sudah jarang dilakukan dan didapat di zaman modern. Eh, serius pemandangane uwapik lho rek!!!

Wisata Nambang Perahu Naga Gebang Bunder Plandaan-Megaluh
Dermaga Megaluh - Dermaga Gebang Bunder Plandaan
Kecamatan Megaluh – Kecamatan Plandaan
Kabupaten Jombang


Prasasti Tengaran berada di Desa Tengaran, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang. Karena terletak di Desa Tengaran, prasasti ini disebut Prasasti Tengaran. Selain itu, prasasti ini disebut juga Prasasti Geweg, karena dulunya, Geweg merupakan nama kuno Desa Tengaran.


Untuk mencapainya, dari Terminal Kepuhsari Jombang menuju ke utara. Lurus saja hingga menemui pertigaan, belok kiri. Setelah belok kiri, kemudian lanjut hingga ada pertigaan lagi belok kanan. Lurus saja sampai bosen hingga dua desa dilalui sampai jalannya hampir habis dan terlihat lintasan jalan tol Jombang-Mojokerto. Masuk gang terakhir di kanan sebelum jembatan lintas tol, lurus hingga ada pertigaan belok kiri. Lurus, hingga jalan mengecil menuju Makam Desa Tengaran.


Keberadaan Prasasti Tengaran masih in situ, artinya tetap di lokasi aslinya yang berada di tengah sawah dan dibatasi tembok pelindung yang dilengkapi pepohonan. Dulunya, lokasi ini adalah hutan belantara. Karena perkembangan zaman, akhirnya berubah menjadi sawah.

Di tengah sawah

Melintasi pematang sawah, Yeeey!!!


Untuk memasuki kompleks Prasasti Tengaran, kita harus menyusuri pematang sawah. Selama menyusuri pematang sawah yang diterpa cahaya mentari senja, tampak dari kejauhan lukisan alam Gunung Penanggungan, dan puncak Anjasmoro yang mempesona.

Hijaunya sawah dan birunya langit

Background Pegunungan Anjasmoro

Parkir Sekenanya

Karena akses jalan yang kecil, tidak ada lahan parkir di sekitar lokasi. Jombang City Guide memarkir kendaraan sebisanya, diantara lalu lalang pengendara motor yang menuju makam. Bagi yang mengendarai roda empat, mungkin harus waspada saat memarkir kendaraannya karena warga yang berlalu lalang dan resiko sisipan sangat mungkin terjadi.


Awas kejeblus got

Resiko sisipan

Kompleks Prasasti Tengaran tak jauh dari makam desa, dan cukup dekat dengan Bangunan Rumah Kecil Makam Mbah Suro Sang Sesepuh Desa. Selain itu, lokasi prasasti ini juga tak jauh dari jembatan penghubung jalan desa yang dilintasi jalan tol di bawahnya. Saat berada di lokasi, kita bisa melihat kendaraan berlalu lalang melintas di jalan tol Mojokerto-Jombang.

Rumah kecil makam Mbah Suro




Prasasti ini dibuat sebagai bentuk terima kasih Sang Raja pada warga setempat karena masyarakatnya sudah berjasa dalam proses pencarian putrinya yang hilang. Sehingga atas rasa syukur itu, Desa Tengaran yang dulunya bernama Desa Geweg dinobatkan sebagai desa sima yang memiliki keistimewaan bebas dari pajak.


Berusia 1000 tahun

Prasasti Tengaran terbuat dari batu andesit dan sudah berusia lebih dari 1000 tahun. Prasasti yang dijadikan tetenger desa ini, merupakan peninggalan Kerajaan Mdang periode Jawa Timur era Raja Mpu Sindok.

Tampak Samping


Ceritanya, Sang Raja beserta permaisuri dan anaknya melintas ke desa ini untuk menuju Gunung Pucangan. Beberapa kisah menyatakan Putri Sang Raja menghilang. Ada kisah lain yang menyatakan Sang Putri konon sedang bertapa di Gunung Pucangan, sehingga Mpu Sindok ingin berkunjung menengok anaknya. Kuat dugaan, putri yang dimaksud adalah Sri Isana Tunggawijaya, yang kemudian menggantikan ayahandanya.


An Interview with The Jupel

Gunung Pucangan sendiri berlokasi jauh di seberang Sungai Brantas. Sungai Brantas ini begitu lebar dan alirannya begitu deras. Karena Sang Prabu kesulitan menyeberang, kemudian Mpu Sindok meminta pertolongan pada masyarakat setempat. Warga desa pun bahu membahu membuat perahu untuk Sang Raja beserta keluarganya sehingga bisa menyeberang sungai dan sampai di utara Kali Brantas.

Prasasti Geweg

Raja Mpu Sindok pun sangat berterimakasih kepada warga Desa Geweg atas pertolongan yang mereka berikan. Sebagai wujud terima kasih, Mpu Sindok pun memberi hadiah berupa tetenger tugu batu bertulis yang berisi penetapan Desa Geweg sebagai Desa Sima. Desa Sima adalah desa yang diistimewakan karena dibebaskan dari pajak.


Penetapan Desa Geweg sebagai daerah istimewa sima dilakukan tanggal 6 Paropeteng Bulan Srawana tahun 857 Saka, yang bila dikonversi ke dalam kalender masehi diperkirakan jatuh pada tanggal 14 Agustus 935 M.


Tengoro di tengah sawah

Sang Raja memberi nama tugu tersebut dengan nama ‘Tengoro’ yang merupakan singkatan dari kata Tengah dan Oro-Oro. Tengoro artinya jauh dari pusat kerajaan atau jauh dari keramaian. Memang penamaan ini benar adanya karena letak Desa Geweg cukup jauh dari pusat ibukota Kerajaan Mdang yang diperkirakan berada di Tembelang dan Watugaluh, Diwek.



Tugu batu bertulis tersebut oleh warga kemudian disebut Gorit yang merupakan kependekan dari tugu digarit-garit. Tugu digarit-garit sendiri, berarti tugu yang terdapat guratan-guratan tertulis di permukaannya.

The Gorit

Tugu batu berukuran tinggi 124 cm dan lebar 78 cm bertuliskan aksara jawa kuno di kedua sisinya. Sisi pertama tertulis dalam 7 baris dan sisi kedua tertulis 16 baris yang dalam Bahasa Jawa Kuno menyatakan bahwa selama Mpu Sindok masih berkuasa, maka Desa Geweg bebas dari upeti. Selain itu juga dituliskan bahwa Mpu Sindok memimpin kerajaan dibantu permaisurinya, Dyah Kbi yang turut serta bersama Sang Raja menyeberangi sungai Brantas.

Aksara Jawa Kuno

Prasasti berbahasa Jawa Kuno

Karena berupa tugu batu, sehingga sering dijadikan masyarakat sebagai tengeran atau penanda sesuatu. Prasasti Tengaran kadang juga dijadikan acuan penanda lokasi, sekaligus semacam gapura. Menurut cerita penduduk setempat, dulu sebelum bertempur pasukan juga sering berkumpul dahulu di sini. Jadi semacam titik kumpul untuk bersiap-siap.



Ketika itu masyarakat tidak banyak yang bisa membaca tulisan, maka mereka hanya menyebutnya sebagai Tugu Tengeran atau Tugu Penanda. Tugu Tengeran menjadi tetenger kebanggaan warga Desa Geweg kala itu, karena merupakan hadiah dari Raja.


Tugu Batu Bertulis

Desa Geweg pun terkenal karena jasanya pada Sang Raja, sehingga akhirnya ikon desa berupa Tugu Tengeran ini lebih terkenal dari nama desanya. Akhirnya untuk lebih mudah dikenali, Desa Geweg pun lebih sering dan dikenal sebagai dengan Desa Tengeran. Karena logat atau pengaruh Bahasa Indonesia, akhirnya nama desa ini kemudian menjadi Desa Tengaran. Desa Tengaran terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Tengaran dan Dusun Surobayan. Hingga kini, Desa Geweg merupakan bagian dari Desa Tengaran.

Pak Hadi

Pak Hadi selaku Juru Pelihara Situs Tengaran sekaligus juru kunci seluruh benda purbakala di Jombang adalah orang yang biasanya menjaga lokasi ini. Pak Hadi mengetahui banyak hal mengenai tempat dan lokasi ini, sehingga Jombang City Guide yang sedang berkunjung merasa senang sekali ketika berjuma dengan beliau. Alhamdulillah, sebagai pecinta sejarah bisa melakukan wawancara singkat yang diabadikan dalam video berikut :





Tulisan di prasasti ini sudah tidak begitu jelas, meski Jombang City Guide juga gak bisa bacanya sih.. Bisa jadi karena font-nya yang cukup kecil, atau sebab termakan usia. Atau bisa jadi karena sudah tidak relevan. Memang biasanya sebuah prasasti ada yang disamarkan tulisannya, atau bahkan ada pula yang dihapus paksa karena isinya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat itu.


Isi prasasti ini menyatakan Desa Geweg bebas pajak selama Mpu Sindok berkuasa. Setelah Sang Mpu tidak lagi duduk di tahta, tentunya isi prasasti ini tidak lagi relevan dengan situasi saat itu, sehingga ada kemungkinan tulisannya disamarkan meski kala itu masyarakat pun banyak yang tidak bisa membaca tulisan. 


Ada beberapa peneliti yang menyatakan pendapat berbeda mengenai peninggalan-peninggalan Mpu Sindok di Jombang. Mereka berpendapat bahwa peninggalan-peninggalan Mpu Sindok sebenarnya kebanyakan dibuat oleh Raja Airlangga. Dugaan ini masih belum terbukti kebenarannya.


Namun memang, Sang Prabu muda tersebut mungkin melakukannya sesaat setelah keluar dari persembunyian dan penyamarannya di Sendang Made, tak jauh dari gunung Pucangan. Sang Prabu dari Bali ini melakukannya hanya untuk makin meyakinkan rakyatnya bahwa dia benar-benar keturunan Mpu Sindok dan suksesi selanjutnya sehingga layak menjadi menduduki tahta.


Batu Bata Jumbo

Di kompleks Prasasti Tengaran terdapat beberapa batu bata ukuran jumbo. Batu bata kuno berukuran jumbo adalah batu bata khas bahan pondasi bangunan kuno yang mengindikasikan bahwa benda itu adalah peninggalan zaman kerajaan kuno.

Makam desa, lokasi banyak benda purbakala

Beberapa batu bata kuno juga diambil dan dipindahkan dari makam desa yang berada tak jauh dari lokasi prasasti untuk mengamankan benda purbakala ini. Batu bata kuno ini kemudian diletakkan di sepanjang jalan setapak dalam kompleks yang menuju prasasti.

Jalan setapak menuju prasasti

Batu bata kuno ditata berjajar

Batu bata kuno itu tidak polos permukaannya, tetapi memiliki semacam guratan setengah lingkaran yang juga mirip dengan tipikal batu bata kuno di Petilasan Damarwulan dan Situs Sugihwaras yang disinyalir juga merupakan peninggalan kerajaan Mdang. 

Bata kuno bermotif

Guratan pada batu bata kuno

Buah Mahkota Dewa

Selain papan nama yang sudah berkarat dimakan waktu, secara umum kondisi kompleks Prasasti Tengaran termasuk baik. Terutama karena sudah ditetapkannya payung hukum akan perlindungannya, sehingga memiliki tempat yang sudah berpagar dan dilengkapi taman yang asri di sekelilingnya.

Karatan


Payung Hukum


Tampak belakang sisi B

Prasastinya juga tampak masih utuh dan berdiri tegak. Di samping prasasti terdapat dua batu andesit yang lebih kecil, yang diduga adalah umpak yang diletakkan di kanan-kirinya. Prasasti Tengaran juga masih sering dikunjungi oleh para penganut aliran kepercayaan untuk berziarah dan memanjatkan doa. Tampak ada kendi dan dupa bekas pakai di depan prasasti, bukti bahwa ada pengunjung sebelumnya yang menggunakannya.









Genting cungkup atap yang melindungi prasasti bersejarah ini terlihat dalam kondisi yang kurang baik dan agak berserakan. Bila dibiarkan, mungkin lama kelamaan akan mengakibatkan kebocoran dan beresiko roboh seperti cungkup Yoni Gambar.

Genting Cungkup yang Genting Kondisinya



Pak Hadi Sang Juru Pelihara sudah melaporkannya ke Balai Purbakala Trowulan, sayangnya belum ada tanda-tanda perbaikan. Seperti biasa, alasan klise adalah dana membuat upaya perbaikan menjadi begitu lama, selak rusak cyiiiin. Selain itu memang adanya kecenderungan lebih mendahulukan benda cagar budaya lain yang dengan tingkat kunjungan yang lebih populer.




Taman kompleks situs yang asri

Meski demikian, kondisi kompleks Prasasti Tengaran jauh lebih baik dibandingkan Situs Sugihwaras, Situs Karobelah, Situs Pandegong dan banyak benda purbakala lain di Jombang yang belum dilindungi kelestariannya menanti sebuah kepastian maupun belum memiliki kompleks berupa pagar pembatas untuk mengamankannya.




Sayangnya, kadang lokasi Prasasti Tengaran ini digunakan oleh oknum-oknum yang memanfaatkan kesakralan tempat ini, seperti orang-orang yang ingin mencari wangsit untuk mendapatkan nomor togel. Entah apa yang mereka dapatkan dari sini, yang jelas ritual ini termasuk syirik dan tindakan mengadu nasib dengan berjudi tentunya bukan hal yang dibenarkan.




Hewan apa nih???

Hingga kini, lokasi kompleks Prasasti Tengaran juga masih rutin digunakan para penduduk setempat untuk berkumpul, maupun acara syukuran setelah panen. Biasanya mereka menggelar makan bersama sambil mayoran, atau tumpengan sederhana di halaman kompleks Prasasti Tengaran.

Perayaan Panen : Makan-Makan di Kompleks Prasasti Tengaran

Sedekah Desa Tengaran : Tumpeng dan Mayoran Seru

Rutinitas ini bukti bahwa warga desa setempat masih menjaga tradisi yang baik dan bentuk gotong royong cerminan kebersamaan. Sebuah kebanggaan dari sebuah ‘prestasi’ yang turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang. Semoga dengan adanya prasasti ini, selalu mengingatkan kita untuk menjaga kelestariannya dan meneladani perbuatan baik yang telah dilakukan para leluhur.


Prasasti Tengaran
Dusun Kuno Geweg, Desa Tengaran,
Samping Rumah Makam Mbah Suro
Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang