Tak melulu bumi durian, Wonosalam juga merupakan penghasil salak berkualitas. Komoditas salak yang bisa dipanen sepanjang tahun benar-benar menguntungkan petani. Bahkan seluruh penjuru Wonosalam adalah penghasil salak. Galengdowo dan sekitarnya merupakan pusat kebun salak Galengdowo yang menjadi primadona kebanggaan Wonosalam selatan.

Salak Galengdowo memang terasa lebih istimewa. Salaknya terkenal sangat manis, tanpa rasa kecut sama sekali. Ukurannya besar dan begitu renyah. Dari ukurannya, Salak Galengdowo jelas memiliki daya tarik yang disukai penjual dan pembeli. Selain penampilannya yang sangat menggiurkan, rasanya juga enak. Salak Galengdowo ini pun makin menggoda dan cocok sebagai oleh-oleh yang istimewa bagi penerimanya.



Komoditas salak Galengdowo rupanya sudah dibudidayakan para petani di Wonosalam sejak puluhan tahun lalu.  Awalnya bibit Salak Galengdowo dibawa dari Salak Pondoh Sleman. Karena dibudidayakan di lereng Anjasmoro, akhirnya salak beradaptasi dan ‘bermutasi’ memiliki rasa yang berbeda dari indukannya. Salak Galengowo dikenal sangat manis, tanpa rasa kecut sama sekali. Rasanya renyah, dan berair. Ukurannya yang besar, membuat siapapun yang melahapnya pasti terkesan. Ukurannya besar, manis pula.


Letak Galengdowo yang berada di ketinggian 482 mdpl membuat hawa desa yang berbatasan dengan Medowo, Kediri ini terasa lebih sejuk dibandingkan kawasan Wonosalam lainnya. Suhu yang berada pada kisaran 25-28 derajat celcius, menjadikan siang hari di Galengdowo pun terasa sejuk. Tingkat kesuburan tanahnya tinggi, didukung kondisi geologi desa yang sebagian besar berkontur tanah alluvial hitam yang kaya humus.


Salak memang cocok tumbuh di tanah basah, namun tidak tahan genangan air, serta memerlukan tanah gembur yang banyak mengandung bahan organik. Kondisi tanah yang sangat subur dengan pH yang tepat, menjadi syarat tumbuh salak pondoh yang berkualitas tinggi. Salak Galengdowo bisa dikatakan sangat produktif. Para petani salak mengaku bisa memanen salak lebih dari empat kali dalam sebulan.


Tak heran jika kemudian, Salak Pondoh tumbuh subur dan bertransformasi menjadi Salak Galengdowo yang lebih nikmat dari indukan aslinya. Menariknya, di musim hujan ukuran salak yang dihasilkan bisa semakin besar dibandingkan yang dipanen di musim kemarau.

Masih berduri

Buah berkulit sisik ala Galengdowo ini akan menghasilkan ukuran yang makin besar saat musim penghujan, karena pohon-pohon salak akan ternutrisi dengan optimal. Abaikan pertimbangan ukurannya, Salak Galengdowo begitu istimewa karena tetap tersedia sepanjang tahun. Jadi tak perlu menunggu musimnya untuk menikmati pengalaman memetik buah salak langsung dari pohonnya.

Si Buah Berkulit Sisik dari Galengdowo ini punya karakteristik yang buah bagian atas kerucut dan cembung ginuk-ginukdengan ukuran yang kebanyakan jauh lebih besar dari buah salak pada umumnya. Daging buahnya tebal berwarna putih agak kekuningan dengan bentuk biji normal seperti salak pada umumnya, meski ada yang bilang lebih gepeng dibandingkan Si Kulit Sisik lainnya.

Salak hasil panen di kebun

Warna sisik kulitnya coklat kurma, dengan sedikit warna kekuningan. Yah, miriplah dengan warna kecoa' astaghfirullah, xixixiixixi. Kulitnya mengkilap, membuat tampilannya makin mempesona. Kulit sisiknya ini, terlihat makin mengkilap ketika baru dipanen. Mungkin bisa dikatakan karena faktor fresh dan organiknya. Jadi bisa dikatakan, buah yang punya nama ilmiah Salacca zalaccadari Galengdowo ini tak hanya menggiurkan dari segi rasa, tapi juga menggairahkan dari segi penampilan.

Karena rasanya yang begitu nikmat, Salak Galengdowo bahkan lebih enak dimakan ‘hidup-hidup’, tentu dengan mengupas dulu kulitnya lah yaaa. Yang Jelas, salak Galengdowo tak perlu diolah menjadi aneka olahan salak seperti camilan Snake Fruit yang sedang populer di sudut lain Jombang. Sebab sudah enak!


Dalam metode pertaniannya, para petani Salak Galengdowo menerapkan penggunaan pupuk organik untuk menyuburkan kebunnya. Biasanya, pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kompos dari kulit kopi dan pupuk kandang yang didapat dari kandang sapi perah warga setempat. Sebagai informasi pula, Galengdowo juga merupakan kampung sapi perah di Wonosalam penghasil susu murni yang sudah menjadi penyumbang produk laktasi nasional.


Supaya panen melimpah, para petani Salak Galengdowo tekun merawat kebunnya dengan metode penyerbukan manual. Serbuk bunga jantan ditaburkan ke bunga betina yang ada di tangkai pohon salak. Saat sudah berbunga, bunga yang sudah dibuahi ‘diblongsong’ dengan plastik.


Bayi Salak

Usaha salak Galengdowo makin menjanjikan. Bahkan perluasan kebun salak pernah mencapai 30 hektar, dan minat petani untuk menanam salak makin banyak. Prestasi Gapoktan Galengdowo dalam menjuarai lomba tingkat propinsi dalam kategori Agribisnis Buah. Usaha ini makin berkembang dan membawa korelasi positif bagi para petani lokal termasuk dalam bidang perekonomian masyarakat sekitar serta turut mewarnai perkembangan buah dalam negeri.

Salak Galengdowo terkenal berukuran besar

Para petani kemudian mendapatkan pendampingan dari GAPOKTAN, sehingga terjadi peningkatan hasil yang cukup menggembirakan. Akhirnya dari peningkatan ini, terjadilah panen raya yang sangat membanggakan. Dari sinilah kemudian digelarlah Bancakan Salak Galengdowo, yang merupakan kenduri versi Salak yang mirip dengan Kendurenan Duren yang juga digelar di Wonosalam.

Bancakan Salak Galengdowo merupakan festival panen raya buah bersisik di Galengdowo yang diselenggarakan setiap tahun di Lapangan Desa Galengdowo. Digelar seperti layaknya tumpengan raksasa salak, Si Kulit Sisik ini dibagikan secara gratis pada masyarakat yang hadir sebagai wujud syukur pada Allah atas panen yang melimpah.


Selama ini, Galengdowo lebih dikenal dengan air terjun Tretes Pengajarannya yang menjadi ikon utama destinasi Wonosalam sejak zaman mbah-mbah kita dulu. Kini, munculnya banyak destinasi wisata di Wonosalam jadi makin meramaikan Desa Galengdowo. Apalagi dibuatlah paket Wisata Argowayang Galengdowo dengan segala destinasinya yang menarik, termasuk Wisata Sejarah Gua Jepang, Wisata Edukasi ke Kampung Sapi Perah, maupun Wisata Petik Salak Galengdowo.



Sayangnya bagi yang berminat berwisata petik salak maupun membeli salak Galengdowo sepertinya harus booking dulu. Komoditas andalan Galengdowo ini memang khusus dijual langsung oleh petani di lumbung salaknya sendiri dan tidak dijual di pinggir jalan karena tak semua penjual salak punya stok ready maupun membuka kebunnya setiap saat.


Bila ingin menikmati salak Galengdowo maupun berwisata petik salak, sebaiknya menghubungi Pak Endon (085259005057) selaku Guide Argowayang AgriEduEco Tourism. Pak Endon inilah yang akan menyediakan Si Buah Bersisik langsung dari petani salak Galengdowo telah ready stock maupun yang siap panen.


Pak Endon (085259005057) Guide Argowayang AgriEduEco Tourism
Anehnya, Salak Galengdowo tak punya nama khusus sebagai jargon andalannya. Hanya Salak Galengdowo, sebutannya tanpa ada nama lainnya. Beberapa petani menyebutnya dengan jenis Salak Pondoh Madu, atau Salak Pondoh Lumut dimana nama ini masih mengusung indukan aslinya tanpa rasa lokal. Padahal, sudah jelas rasa Salak Galengdowo sudah berbeda dari indukan aslinya, bahkan jauh lebih enak.


Bila Wonosalam punya dengan sebutan Bido sebagai unggulannya, Salak Galengdowo belum punya julukan khusus. Saudara sekota Salak Galengdowo dari Tembelang, sudah punya nama khusus yaitu Salak Doyong. Sedangkan Salak Galengdowo masih mengusung nama desanya.
Mungkin Galengdowo perlu mengingat legenda yang beredar di Air Terjun Tretes Wonosalam yang menceritakan salah satu episode kehidupan suami Dewi Anjarwati yaitu Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Bisa jadi, kediaman Raden Baron Kusumo dulunya ada di Galengdowo, bukan?


Bila Jombang City Guide boleh usul, mungkin Salak Galengdowo dijuluki Salak Baron saja. Selain mengusung legenda lokal kisah Raden Baron Kusumo, juga identik dengan komoditas unggulannya berupa Si Buah Bersisik dengan ukuran besar yang pantas dinobatkan sebagai bangsawannya para salak. Hehehehhe….. Jadi Salak Galengdowo punya julukan yang bernapaskan kearifan lokal setempat. Keren, ‘kan???


Baron juga bisa diartikan sebagai bangsawan. Jadi, Salak Baron Galengdowo, bukan hanya salaknya para bangsawan tapi juga bangsawannya para salak! Hehehehehe…..

Salak Baron Galengdowo
Desa Galengdowo
Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang
Tersedia wisata petik salak sepanjang tahun
Info, Booking dan Pemesanan :
Pak Endon Guide Argowayang : 085259005057


Sebelum berbagai destinasi menjamur di Wonosalam seperti sekarang ini, ada satu magnet wisata legendaris yang menjadi ikon Wonosalam di masa lampau : Air Terjun Tretes Pengajaran. Tak banyak pula yang tau, bahwa air terjun yang terletak di Dusun Pengajaran, Desa Galengdowo, Kecamatan Wonosalam ini yang diklaim sebagai air terjun paling menjulang di Jawa Timur dan tertinggi ketiga di Indonesia.


Semua catatan menuliskan air terjun ini setinggi 158 meter, dan ada satu tulisan mencantumkan 178 meter. Padahal Madakaripura di Probolinggo punya tinggi 200 meter. Jadi sepertinya predikat tertinggi di Jawa Timur kurang tepat karena masih kalah dengan Madakaripura. Sedangkan predikat tertinggi ketiga di Indonesia juga dirasa kurang faktual karena masih kalah tinggi dengan Air Terjun Nokan Nayan di Kalimantan Barat yang dicatat setinggi 180 meter.



Tumpukan bata kuno membentuk bangunan mirip candi Majapahit disinyalir merupakan peninggalan Damarwulan. Dari cerita penduduk setempat, dulunya tumpukan batu bata berukuran jumbo itu merupakan lokasi dimana Sang Ksatria andalan Majapahit itu bersemedi.


Diantara batu bata merah berukuran jumbo itu, terdapat beberapa yang memiliki ukiran khas guratan peninggalan bersejarah kerajaan kuno. Kebanyakan situs non-andesit memang tersusun dari batu bata kuno yang dihiasi guratan bentuk setengah lingkaran di permukaannya. Situs bersejarah yang dominan dari batu bata kuno bisa ditemukan di Situs Sugihwaras, Prasasti Tengaran, Prasasti Watu Gilang, Petilasan Damarwulan Sudimoro, dan masih banyak lagi.



Susunan batu bata itu memang membentuk segi lima, entah memang dari dulu demikian bentuknya atau ditumpuk seadanya oleh penduduk setempat. Yang jelas, kisah Damarwulan yang diwariskan turun temurun dari warga setempat menjadikannya kekayaan kearifan lokal yang bersumber dari penaman dusun dimana Candi Dempok berada.


Dinamakan Candi Dempok, karena lokasinya yang berada di Dusun Dusun Dempok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang. Dusun ini sendiri punya kisah asal muasal penamaannya, yang juga terispirasi dari Watu Dempok. Nama dempok sebenarnya muncul dari kata depok. Dempok sendiri, dalam Bahasa Jawa bisa diartikan sebagai duduk bersila. Karena logat jawa yang kental, mungkin akhirnya terpelesetlah lidah para penduduk sehingga berkembang namanya menjadi Dempok. Hmmm…. Apanya ndeprok ya???


Lokasi Candi Dempok bisa dicapai dengan mengendarai kendaraa roda empat, meski harus melalui jalan kecil yang mungkin perlu menyapa tetangga dan penduduk setempat yang kebetulan berpapasan. Dari kunjungan ini, Jombang City Guide berhasil menandai Candi Dempok di Gmaps sehingga lebih mudah untuk mencapainya. Meski demikian, rasanya tetap ada sebuah kebutuhan tambahan informasi yang didapat bila berinteraksi dengan warga sekitar.


Bila dilihat dari atas, batu bata itu tersusun seadanya membentuk semacam bentuk segi lima. Dengan dasar segi yang memiliki semacam tangga. Uniknya, di puncak undak-undakan itu terdapat sebuah batu yang memiliki dua cekungan. Dari kisah turun temurun penduduk setempat, di atas batu itulah tepatnya Damarwulan duduk bertapa. Konon, karena terlalu lamanya duduk bersemedi di 'singgasana' pertapaannya, sehingga batu itu disebut Watu Dempok karena memiliki dua dekok seperti bekas dudukan pantat.


Candi berbentuk segi lima ini, memang seutuhnya terbuat dari batu bata kuno, kecuali satu bagian di Watu Dempok yang terbuat dari batu andesit. Batu Andesit yang memiliki dua cekungan itu seakan menjadi ikon utama yang paling menarik dari Candi Dempok. Hanya saja, misalnya benar cekungan itu bekas dudukan pantat, Jombang City Guide hanya membayangkan betapa langsingnya Damarwulan karena muat duduk berlama-lama dengan bersila di batu itu. 


Menariknya, selain batu bata kuno yang ada, ditemukan pula periuk-periuk berupa genuk yang ada di sekitar candi. Meski hanya diletakkan sekenanya, tampak kondisinya masih bagus. Sedangkan periuk kecil mungkin bekas sesajen orang-orang yang mencari wangsit berada di bagian bibir tangga.


Tumpukan batu bata itu kini kondisinya memprihatinkan, tanpa pengurus dan perhatian dari pemerintah kabupaten Jombang maupun terdaftar di dalam list peninggalan bersejarah dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan yang menaungi warisan bersejarah di kawasan Jawa bagian timur.


Candi Dempok, berada di pekarangan warga yang hampir tak terurus dan menjadi wahana jemuran baju tetangga. Beruntung, masih ada pagar pekarangan dan ‘gerbang bambu’ sisa perayaan proklamasi kemerdekaan yang ‘sedikit menghiasi’ sekitar lokasi. Dulunya ada pagar dari bambu yang dicat dan dibangun oleh warga, namun seiring dengan berjalannya waktu pagar itu sepertinya sudah lapuk dimakan usia. Biasanya warga menghelat bersih candi kebanggan dusunnya ini ketika menjelang Ramadhan.

Gerbang sisa 17-an

Candi di balik jemuran

Beberapa warga penduduk sekitar Candi Dempok dan pemilik pekarangan biasanya membersihkan sekedarnya, bahkan ada yang masih berbaik hati dengan menanam bunga di samping candi untuk menghiasinya. Sayangnya, musim kemarau yang berkepanjangan mungkin membuat bunga-bunga itu layu dan sulit bertahan.

Bertahanlah


Tak ada catataan sama sekali mengenai asal usul candi ini, termasuk benar tidaknya Damarwulan yang menjadi sosok yang dulunya lama bersemedi di Candi Dempok. Kisah Damarwulan pun masih simpang siur, meski sudah ada Serat Damarwulan yang menjadi satu-satunya naskah autentik tentang Sang Ksatria.


Cerita Damarwulan sendiri hanya bukti artefak dan tak ada bukti autentik yang paling bisa dipercaya tentang Damarwulan selain sebuah naskah kuno berupa Serat Damarwulan yang ditulis tahun 1815. Majapahit hidup di era 1300-1500an. Laskar Mdang, memperkirakan Sang Ksatria Damarwulan hidup di era Raja Jayanegara yang ada di awal Majapahit. Para peneliti sejarah dan kesusastraan kuno masih mengeksplorasi Serat Damarwulan untuk menggali lebih dalam lagi kisah Sang Ksatria.


Rentang waktu yang begitu panjang antara era Majapahit dan penulisan serat selama hampir 500 tahun jelas membersitkan keraguan tentang kisah-kisah yang ada di dalam naskah kuno ini. Tentunya, di tahun 1815, penulis Serat Damarwulan nyata-nyata tidak pernah berjumpa langsung ataupun mengenal sosok Damarwulan.


Cerita di dalam naskah kuno ini belum bisa dipastikan jelas realitanya. Apakah benar kisah nyata seutuhnya, atau kisah fiktif semuanya, atau mungkin kisah yang benar sebagian dan sisanya ala dongeng? Hmm… jadi menyesal kenapa tidak ambil jurusan sejarah saat kuliah dulu.


Terdengar seperti nama perempuan, Damarwulan sebenarnya adalah seorang pria yang diyakini sebagai seorang ksatria dari kerajaan Majapahit. Pendapat lain, Damarwulan adalah nama kecil dari Prabu Brawijaya I, salah satu Raja Majapahit. Beberapa kisah menyatakan Damarwulan memang pernah menguasai Majapahit, tapi hanya sebentar.


Eksistensi Damarwulan sebagai seorang raja masih diperdebatkan. Beberapa memang meyakini dialah Prabu Brawijaya I seperti yang tertera di papan nama petilasan Damarwulan di Sudimoro. Di sisi lain, kelompok peneliti sejarah Jombang dari Tim Laskar Mdang cenderung menyatakan bahwa Damarwulan bukan seorang raja, melainkan hanyalah seorang ksatria penting kerajaan Majapahit.


Meski seorang panglima perang yang sukses menorehkan sejarah menumpas pemberontakan kerajaan bawahan, Damarwulan tetaplah rakyat biasa yang bukan bangsawan. Dia hanyalah seorang kstaria apalagi seorang raja, wajarlah namanya tak tercantum di dalam Negarakertagama.


Kisahnya yang paling terkenal memang berupa heroiknya pertempurannya dengan Raja Minakjinggo dari Blambangan. Selain itu, romansanya dengan Ratu Kenconowungu mungkin melegenda, meski cinta sejatinya hanya pada istri pertamanya, Dewi Anjasmoro. Bahkan nama istri tercintanya itu, Sang Dewi Anjasmoro diabadikan menjadi nama pegunungan yang bentangannya begitu luas, mulai Malang, Mojokerto, Jombang, Kediri hingga Batu. Pegunungan Anjasmoro pun, menjadi salah satu ikon kebanggaan Jombang yang disumbangkan Wonosalam.


Memang tak banyak yang membahas mengenai masa hidup Damarwulan sendiri. Diceritakan, dulunya Damarwulan kerap mengembara. Daam petualangannya itu, Sang Ksatria diceritakan menuju hutan Gondang sambil mampir ke berbagai tempat yang salah satunya disebutkan melewati Dempok. Sayangnya, banyak lokasi lain di Jombang dan Mojokerto yang bernama Dempok, termasuk di Dempok di Cukir dekat Menganto, Mojowarno, maupun dua Dusun Dempok yang berada di Megaluh.


Dempok yang tak jauh dari Menganto, juga bisa menjadi lokasi yang patut ‘dicurigai’ sebagai Dempok yang disebutkan dalam kisah Damarwulan dimana lokasi itu banyak penemuan benda purbakala termasuk Situs Pandegong yang menyimpan candi yang terkubur di dalam tanah.


Dua Dempok yang lain, sama-sama ada di Kecamatan Megaluh. Dempok yang pertama ada di Ngogri yang memang lokasi dimana Petilasan Damarwulan berada. Sedangkan Dempok yang dimana Candi Dempok berada berada di Dusun Dempok yang masuk dalam Desa Sidomulyo. Menariknya, kedua lokasi di Megaluh punya cerita yang sama-sama membahas Damarwulan sebagai tokoh yang terkait dengan penemuan benda purbakala di kawasannya.


Bahkan bila digali kisah dari dari penduduk setempat, ketiga Dusun Dempok punya cerita yang berkaitan satu sama lain. Dimana Damarwulan berkelana dan menimba ilmu sambil berpindah-pindah ke berbagai tempat. Dusun Dempok di Cukir, dipercaya sebagai tempat Damarwulan membuat keris dan persenjataan lainnya.


Kisah Damarwulan di Dusun Dempok Ngogri juga lain lagi. Dikatakan Damarwulan membuat padepokan yang menjadi semacam jujugan warga setempat. Di sana Damarwulan mengajarkan banyak ilmu bagi para penduduk, termasuk menggelar acara wayang. Menariknya, di Ngogri pula terdapat Petilasan Damarwulan yang lokasinya kini sudah dibangun oleh pemerintah Kabupaten Jombang. Sedangkan kisah Damarwulan di Dusun Dempok Sidomulyo yang berkaitan dengan Candi Dempok ini.


Meski demikian, bisa jadi kisah penduduk setempat tentang Dempok di Cukir, Candi Dempok maupun Petilasan Damarwulan di Sudimoro yang masih berada dalam satu wilayah Kecamatan Megaluh, merupakan potongan puzzle informasi yang bisa melengkapi kisah-kisah episode kehidupan Sang Ksatria yang tercecer maupun berbagai asal muasal kota Jombang yang masih menjadi misteri.


Tim Laskar Mdang, cenderung berpendapat Candi Dempok ini bukanlah peninggalan era Majapahit, tetapi dari masa pra-Majapahit. Umumnya, peninggalan yang ada di daerah Megaluh, Tembelang, dan Jombang Utara berasal dari Kerajaan Mdang dan Kerajaan Kahuripan. Pendapat ini didasarkan sebaran peninggalan Majapahit tidak berada di daerah barat Jombang, meski kemungkinan itu tetap ada.


Pendapat Laskar Mdang didasarkan sejarah bahwa Megaluh sendiri adalah dermaga besar tempat kapal-kapal besar berlabuh. Memang, lokasi Megaluh diyakini sebagai pelabuhan internasional kala itu, dimana Sungai Brantas adalah jalur transportasi utamanya. Ketika itu, jalur transportasi utama adalah rute perairan, dimana ukuran Sungai Brantas bisa jadi dua atau tiga kali lebih besar dari sekarang.


Galuh dalam Bahasa Sansekerta artinya intan. Sungai Brantas nanti menuju Surabaya, yang dulunya disebut Hujung Galuh atau Ujung Galuh. Ujung Galuh dan Megaluh merupakan pusat perdagangan penting karena lokasinya begitu strategis dan menjadi pertemuan antara Sungai Brantas arah dari Kediri dan Sungai Widas dari Madiun.


Sampai sekarang, 'Watu Bokong' di Candi Dempok masih dikeramatkan oleh penduduk setempat.  Bahkan dikatakan, dulunya terdapat pula batu yang memiliki cap kaki, namun sekarang tidak diketahui keberadaannya. Katanya, dulu ada orang yang akan meneliti batu itu dan meminta untuk membawanya. Namun batu itu kini tak kunjung dikembalikan dan tak diketahui lagi keberadaannya. Sehingga penduduk setempat kini lebih berhati-hati dan tak lagi mengizinkan orang-orang yang ingin membawa batu-batu dari Candi Dempok.


Pernah seorang anak bermain-main di dekat Candi Dempok, dan sempat dilarang untuk mengambil batu yang ada di susunan candi tersebut. Namun, anak tersebut tak menghidaukan larangan dari penduduk, akhirnya tetap membawa salah satu batu yang ada di susunan Candi Dempok. Malamnya, anak tersebut bermimpi didatangi seseorang, kemudian menangis hingga kejang-kejang seakan kerasukan makhluk gaib.


Dari kisah anak tersebut, akhirnya masyarakat masih mempercayai bahwa ada larangan tak tertulis supaya jangan sampai ada yang mengambil apapun dari tatanan Candi Dempok, meski benda kecil sekalipun. Karena bagi siapapun yang mengambilnya, pasti hatinya tidak tenang dan akan diganggu ‘penunggu’ batu hingga disuruh mengembalikan ke tempatnya semula.


Warga setempat yang mengkeramatkan batu itu, hingga bila ada acara keagamaan seperti Mauludan maupun Ramadhan, banyak diadakan doa bersama di sekitar Candi Dempok. Doa bersama ini bukan dimaksudkan sebagai bentuk penyembahan berhala, melainkan bentuk penghargaan asal usul tempat dan memperingati sejarah cikal bakal desa. Kegiatan ini, mirip dengan acara serupa yang diselenggarakan warga desa di sekitar Prasasti Tengaran.


Peninggalan-peninggalan kuno yang berada di sekitar Candi Dempok juga tak bisa dikatakan sedikit. Paling dekat dari Dempok, terdapat Watu Gilang yang dipercaya sebagai bakalan prasasti. Selain itu terdapat Candi Mireng yang jelas-jelas tertera asal-usulnya sebagai candi pendermaan Lembu Tal, ayahanda Raden Wijaya pendiri Majapahit.


Petilasan Damarwulan di Sudimoro juga punya kisah yang berkaitan dengan Damarwulan. Hanya Candi Tamping Mojo di Tampingan, Tembelang yang bersebelahan dengan Megaluh yang mungkin masih belum diketahui sejarahnya. Asal usulnya sendiri masih misteri, meski yoni naga raja kecil yang ditemukan di sampingnya sepertinya sebuah pertanda bahwa Candi Tamping Mojo merupakan sebuah check point di era itu.


Tak banyak yang tahu bahwa Jombang juga menyimpan banyak benda purbakala peninggalan kerajaan kuno, baik yang masih terkubur, yang belum tercatat sebagai peninggalan cagar budaya, maupun yang belum dipublikasikan.


Peran kita sebagai warga yang mencintai kotanya hendaknya menjaga dan melestarikan peninggalan bersejarah yang dimiliki Jombang. Selain itu, harapan supaya pemerintah Kabupaten Jombang dan BPCB Trowulan untuk melakukan penelitian maupun eskavasi agaknya tak boleh padam.

Generasi muda pecinta sejarah

Mungkin ada yang tau lagi kisah lain tentang peninggalan purbakala di Jombang??? Boleh dong sumbang cerita,,,


Btw, Apriliya Oktavianti  dari situsbudaya.id monggo kopas-kopas sepuas-puasnya ya. Nanti silakan pura-pura lupa cantumkan sumber seperti biasanya, 'kan ya??? Haseeek, hasek hasek haseeeekkk!!!



Candi Dempok
Dusun Dempok, Desa Sidomulyo
Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang