Tahun baru 2017 menjadi lebih gempar di Desa Sugihwaras Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang BERIMAN. Ini disebabkan ditemukannya puing-puing bangunan kuno yang diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan kuno. Reruntuhan yang berserakan dengan dinding memanjang ini tidak sengaja ditemukan warga saat melakukan penambangan pasir di desa yang dekat dengan daerah Diwek dan Blimbing ini.
Reruntuhan ini terdiri dari tumpukan bata merah yang berukuran jumbo. Selain itu di beberapa bata ditemukan ukiran-ukiran yang terpahat membentuk hiasan seperti setengah lingkaran dan pahatan mlungker-mlungker yang juga menjadi ciri khas bangunan di kompleks candi-candi di Trowulan. Dimana faktanya batu bata seukuran itu dengan dilengkapi pahatan yang apik tidak lagi diproduksi oleh pembuat batu bata zaman modern.
Setiap hari sejak penemuan reruntuhan candi tak bernama ini, warga terus berdatangan ke situs kuno meski lokasinya berada di tengah pekarangan milik warga yang agak jauh dari jalan masuk desa. Jalan masuknya yang tepat di seberang makam Desa Sugihwaras pun sulit dilewati oleh mobil saat Jombang City Guide datang untuk mengamatinya. Meski ada jejak traktor yang mungkin digunakan pengangkut pasir bekas penambangan, namun jalan yang dilalui pun cukup terjal karena harus melewati jurang sawah pasca pengerukan Galian C.
Belum bisa dipastikan kerajaan mana yang mewariskan puing-puing ini, perlu kajian lebih lanjut untuk menganalisis usia bangunan ini, mengingat tidak adanya catatan yang ditemukan tentang angka tahun susunan bata di sini.
Menariknya, ada sebuah fakta bahwa peninggalan Raja Airlangga banyak tersebar di wilayah Jombang bagian utara. Ada kemungkinan, Situs Sugihwaras ini berasa dari zaman Pra-Majapahit. Bisa jadi dari era Kerajaan Mdang, bisa pula dari masa Raja Airlangga. Ada kemungkinan situs ini merupakan lanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Yang menjadikan puing-puing ini unik adalah panjangnya yang membentang hingga 40 meter dengan dinding yang setinggi kurang lebih satu meter. Dasar pondasi di bagian selatan lebih rendah dari bagian pondasi di sisi barat yang mengindikasikan struktur yang berundak-undak dan dibangun pada topografi yang berbeda.
Mengingat bentuknya yang luas dan memanjang dan batu batanya tersusun rapi menyerupai tembok, seakan merupakan dinding pembatas sebuah tempat yang menjadi kegiatan masyarakat zaman kerajaan Majapahit. Entah merupakan rumah penduduk atau bagian dari bangunan keraton.
Menurut warga setempat, cerita turun temurun masih simpang siur. Banyak yang menduga reruntuhan itu dulunya merupakan bekas kedaton, atau kolam pemandian, atau kandang babi. Namun belum ada bukti kuat yang mendukung cerita rakyat yang beredar.
Dikatakan seperti pemandian karena lokasi ini mengingatkan kita pada Candi Tikus yang memiliki bentuk serupa dan memanjang. Sedangkan dikatakan seperti kandang babi menurut cerita warga setempat yang mewarisi kisah-kisah turun –temurun dari nenek moyang. Dugaan kandang babi bisa jadi benar adanya karena masyarakat zaman kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu juga menggunakan babi sebagai salah satu sumber protein hewani.
Disinyalir di sekitar penemuan kolam besar kuno ini masih terdapat bangunan-bangunan lain yang masih bisa ditemukan apabila digali lebih dalam lagi. Terlebih lagi sebelumnya sudah ditemukan bangunan menyerupai gapura di sekitar lokasi penemuan.
Bahkan penduduk setempat menemukan beberapa benda penting seperi guci, tembikar, uang logam kuno, timbangan kuno dan lain sebagainya. Namun nasibnya kini tidak diketahui karena sudah raib entah kemana. Berbalik dengan pernyataan Kepala Desa Sugihwaras yang menyatakan tidak ada arca yang ditemukan, ada warga yang mengaku mengatakan bahwa dulunya pernah melihat ada arca di sini. Namun sepertinya sudah dijarah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tiga bulan sejak warga gempar atas penemuain ini, petugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Jawa Timur datang ke lokasi untuk melakukan pengamatan. Sayangnya, karena tidak ditemukan prasasti atau bukti pendukung dari literatur yang terkait dengan penemuan ini, sehingga situs bersejarah ini belum bisa dibaca. Karena belum bisa terbaca, sehingga birokrasi untuk pengajuan lanjutan penelitian belum bisa dilakukan.
Pemerintah Desa Sugihwaras sudah melarang aktivitas penambangan di lokasi situs yang masih menjadi misteri ini. Ini dilakukan supaya puing-puing yang tersisa tidak semakin hancur.
Uniknya ada warga yang mengaku mendengar cerita bahwa setiap lokasi benda peninggalan ini pasti ada penunggunya. Cerita mistis ini sering kali beredar di tengah warga. Karena tak jarang ada pula saat ada warga yang mengambil benda peninggalan bersejarah ini pulang ke rumah, malamnya didatangi sesosok pria dalam mimpi yang meminta supaya benda yang diambil dikembalikan lagi ke tempat semula.
Tempat ini memang belum semenarik kompleks candi yang bertebaran di Trowulan. Namun baiknya bila kita sebagai pewarisnya, menjaga dan melestarikannya meski belum ada pengamanan resmi dari pemerintah untuk menjaga situs sejarah ini. Mungkin pemilik lahan, pemerintah dan warga setempat bisa bekerja sama untuk menjaga lokasi bersejarah ini. Dan para pengunjung berpartisipasi untuk melestarikannya. Salah satu caranya dengan tidak menjarah artefak yang ada di situs bersejarah ini, serta berhati-hati dalam melangkah saat mengunjungi tempat kuno terkait supaya tidak rusak karena usianya yang sudah ratusan tahun.
Saran dari Jombang City Guide, para pengunjung yang datang menyaksikan situs bersejarah yang masih misteri ini sebaiknya selalu mengucapkan basmalah ketika masuk ke lokasi supaya tetap dalam lindunganNya. Karena tidak ada kekuatan yang lebih hebat selain Allah Sang Maha Pencipta.
Selain itu, pengunjung hendaknya juga berinisiatif untuk memberikan dana seikhlasnya sebagai salah satu bentuk dukungan untuk pemilik lahan dan warga setempat untuk biaya pengamanan lokasi peninggalan sejarah ini. Pemerintah dan pemilik lahan juga sebaiknya bekerja sama dalam pengumpulan dana dan pengalokasianya. Ini dilakukan supaya situs bersejarah ini tetap terjaga kelestariannya. Selain itu bisa juga digunakan sebagai dana pengembangan mandiri supaya tempat ini bisa dijadikan tempat wisata baru, karena menunggu birokrasi dari pemerintah dirasa terlalu berbelit-belit.
Semoga masyarakat Jombang masa kini, terutama warga Desa Sugihwaras bisa menjadi salah satu generasi Jas Merah, yang selalu menghargai sejarah dan mampu menjaga kelestariannya dengan sebaik-baiknya.