Gunung Argowayang adalah salah satu bagian dari gugusan pegunungan Anjasmoro di sisi Wonosalam Selatan. Puncak Argowayang tercatat setinggi 2197 mdpl. Puncak Argowayang merupakan titik tertinggi kelima dari seluruh gugusan pegunungan Anjasmoro. Tak terlalu tinggi memang, karena kawasan Wonosalam Selatan ibarat kaki Gunung Anjasmoro yang berakhir dekat di  daerah Kandangan –Kediri dan Pujon-Malang. Meski tak terlalu tinggi, Puncak Argowayang tercatat lebih tinggi dibanding Puncak Cemorosewu dari Gunung Gede Anjasmoro di posisi keenam yang ada di Carangwulung.

Di peta, Gunung Argowayang masuk daerah Pujon-Malang dan sedikit wilayah Kandangan-Kediri. Jika kita melihat pegunungan dari arah Pujon, akan terlihat deretan perbukitan yang membentang di sebelah utara yang merujuk ke kawasan Wonosalam bagian selatan. Bentangan kawasan juga menjadi bagian dari kisah penduduk yang berkembang di Jarak, Desa Wonomerto dan Desa Galengdowo yang masuk Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang. 


Ada beberapa versi yang berkembang, dimana Gunung Argowayang merupakan sebuah gunung yang ada di daerah Pujon sesuai peta. Sedangkan ada yang menyatakan bahwa Margowayang merupakan deretak perbukitan yang berlapis-lapis yang mengelilingi Argowayang. Versi lain menyatakan gunung ini sebenarnya bernama Margowayang, yang lalu kemudian berkembang menjadi Argowayang atau sebaliknya. 

Sedangkan penduduk Galengdowo dan Wonomerto meyakini ada sebuah gunung lain yang terlihat dari kawasan mereka tinggal yang kerap disebut gunung Margowayang. Sedangkan Gunung Argowayang sendiri pastinya susah diamati dari kawasan Wonosalam selatan karena letaknya yang berada di tengah-tengah pegunungan dan tertutup oleh deretan perbukitan.

Dari tiap kawasan memang didapat perbedaan pemahaman akibat sudut pandang yang bersumber dari kearifan lokal masing-masing wilayah. Ada kesamaan nama diantara keduanya, dengan beda huruf M di bagian depannya. Belum diketahui pasti apakah dua gunung ini merujuk pada gunung yang sama, atau bahkan berbeda. Yang jelas, ada kesamaan legenda kisah mistis yang menarik yang merebak di seantero Wonosalam dari kawasan selatan sampai utara, yang memang tercermin dari nama gunung ini, (m)Argowayang. 

Nama Argowayang, berasal dari kata Argo dan Wayang. Argo artinya gunung dan wayang merupakan ‘boneka’ pementasan siluet yang kerap diiringi dengan tabuhan gamelan dan identik dengan budaya Jawa. Sebutan wayang tersemat dalam nama gunung ini karena ketika fajar menyingsing dan mentari terbit dari timur, cahaya sinar matahari menembus atas deretan gunung yang berjajar rapi lalu menciptakan keelokan siluet layaknya sebuah pementasan wayang.

Nama-nama bukit di sekitarnya banyak yang menggunakan sebutan dari tokoh pewayangan. Sebut saja ada Bukit Semar, Bukit Bagong, Bukit Mintorogo, dan Bukit Pitruk dan masih banyak lagi. Tak heran memang bila unsur nama wayang tersemat dalam sebutan Gunung Argowayang, karena banyak elemen dari kearifan lokal yang seakan berpadu dengan harmonisnya.

Versi lain dari Pujon memiliki filosofi sendiri yang mengartikan 'margo' artinya jalan, sedangkan 'wayang' adalah tokoh ksatria. Jika digabungkan, Gunung 'Margowayang' artinya Gunung Tempat menempa para ksatria menuju jalan keutamaan.

Legenda Pertarungan Joko Lelono dan Raden Baron Kusumo yang mungkin menjadi salah satu detail yang menunjukkan kawasan ini memang merupakan lokasi tempat menempa para ksatria. Dikisahkan keduanya memang tewas dalam pertempuran, dimana satunya teguh untuk menggapai keinginannya sedangkan yang lain kukuh melindungi orang yang dikasihinya. Kisah kecil yang menjadi dari Gunung Anjasmoro bagian selatan ini seakan menunjukkan memang bukan jalan yang mudah menjadi ksatria.


Terdapat cerita penduduk setempat tentang legenda alunan gamelan misterius yang kerap terdengar di waktu-waktu tertentu. Menurut para sesepuh desa, dulunya di daerah lereng Argowayang sering terdengar bunyi gamelan terdengar sayup-sayup. Alunan musik khas tanah jawa yang menjadi backsound pementasan wayang ini sering terdengar, apalagi saat saat malam suro, meski sedang tidak ada pementasan wayang.

Bisa jadi, nama Margowayang berasal dari kata 'margo' yang artinya karena / sebab, adanya bunyi-bunyian misterius yang seperti alunan pementasan wayang. Jadi Margowayang bisa diartikan karena ada wayang. Meski kini perkembangannya nama Argowayang lebih populer dan menjadi nama resminya. Karena itu Jombang City Guide cantumkan huruf 'm' di depan Argowayang di judul. Soalnya masih rancu. Hehehehhee.....  



Suara gamelan mistis terdengar dari balik lapisan-lapisan pegunungan ini,
btw Jombang City Guide belum punya potret Gunung Argowayang yang layak. Sementara, potret yang ditampilkan masih berupa lapisan pegunungan Anjasmoro via Desa Jarak. Mungkin ada kawan yang punya potretnya yang keren???

Menariknya, legenda bunyi gamelan wayang ini tak melulu berkembang di kawasan Wonosalam Selatan. Wonosalam Utara juga punya narasi yang sama persis, namun obyek yang dikisahkan adalah Bukit Selo Ringgit. Alunan gamelan mistis inilah yang juga menjadi bagian dari Legenda Joko Mujung dan Sang Boklorobubuh yang berkembang di kawasan Wonosalam Selatan.

Peristiwa jatuhnya pesawat di Wonosalam yang terjadi tahun 1960an di kawasan selatan dipercaya karena kacaunya sinyal akibat bunyi-bunyian misterius seperti alunan gamelan pementasan wayang sehingga mencelakakan seluruh penumpang dan awak pesawat. Puing-puing pesawaat naas itu, kini masih bisa dilihat di Puncak Cemorosewu dan kaki bukit di bawahnya.

Belum diketahui jelas darimana dan sebab suara misterius itu muncul. Meski ada kesamaan kisah dalam legenda tersebut, pastinya cerita rakyat ini bersumber dari satu peristiwa yang sama, dimana kedua gunung Argowayang, Selo Ringgit, maupun yang disebut mArgowayang itu memang berada dalam selimut misteri di balik megahnya gugusan pegunungan Anjasmoro.

Hingga kini, sumber bunyi gamelan itu masih menjadi misteri dan menjadi cerita unik yang diwariskan penduduk setempat secara turun temurun. Sayangnya, bunyi misterius itu kini sudah punah dan tak pernah terdengar lagi. Para pemuda setempat hanya mewarisi kisah tersebut, tanpa pernah mendengar langsung alunan pengiring pementasan wayang misterius itu.

Dari nama dan dongeng yang unik ini, akhirnya penggerak pariwisata Wonosalam Selatan terinspirasi untuk menggunakan nama Argowayang sebagai nama mereknya. Mulai dari nama pendakian, nama merek kopi, maupun aneka lokasi wisata. Tercatat beberapa nama seperti Kopi Wonosalam Argowayang, Argowayang Kompeni Waterpark Galengdowo, dan Pendakian Anjasmoro via Argowayang yang tujuannya untuk mencapai Puncak Tapak Bunder.

Pendakian ke Gunung Argowayang sendiri juga masih belum populer karena lokasinya benar-benar terperncil 'seakan tak ada manusia' yang pernah ke sana. Gunung Argowayang sendiri, memang berada di tengah-tengah deretan pegunungan Anjasmoro kawasan selatan dan hanya akan terlihat ketika dilakukan pendakian di salah satu titik dari perbukitan yang mengelilinginya. Ibaratnya, 'perlu berhari-hari' menuju ke sana karena terlalu jauhnya.

Meski demikian, tetap ada sekelompok 'monster' yang pergi ke sana. Dari penuturan para monster itu pendakian ke Argowayang mungkin lebih baik dilakukan dari Pujon karena lebih dekat. Namun, medan terjal tetap menjadi ganjalan. Sedangkan jalur pendakian dari Wonosalam juga tak kalah menarik, terutama saat melalui Gunung Pegat yang nama lokalnya adalah Gunung Gapit, Tepak Ayem, maupun Tapak Bunder.

Puncak Argowayang diterpa sinar mentari pagi, dilihat dari Puncak Banyangan Bukit Semar dekat Wonosalam Utara

Uniknya, meski terkesan begitu misterius karena lokasinya yang terpencil, saat tiba di Puncak Argowayang sendiri, tak banyak yang bisa ditemukan. Maksudnya, potensi di Argowayang pun tak terlalu banyak. Pemandangan hanya berkisar pohon-pohon hutan yang gelap tanpa pemandangan ikonik seperti layaknya panorama yang didapat ketika kunjungan ke Puncak Cemorosewu atau pun kebanggaan karena mencapai Puncak Kukusan Sang Boklorobubuh yang bergengsi.

Seorang guide pendakian dari Desa Jarak pernah menyatakan bahwa destinasi ke Puncak Argowayang memang tak semegah puncak-puncak lainnya di Gugusan Pegunungan Anjasmoro. Namun dari penuturannya yang didapat berdasarkan cerita penduduk setempat, ada kisah menarik sekaligus mengerikan yang tersembunyi di balik gelapnya Gunung Argowayang.

Cukup ngeri sebenarnya yang dikatakan bahwa tak jarang, penduduk maupun pendaki yang mengunjungi Gunung Argowayang akan menemukan tulang belulang manusia yang tergeletak di salah satu sudut gunung yang sangat terpencil itu. Tak dijelaskan lebih rinci  kondisi tulang belulang yang ditemukan. Mungkin tengkoraknya tak lagi utuh, bisa jadi karena dimangsa hewan buas. 

Sampai sekarang, tak diketahui asal muasal tengkorak tersebut, namun diperkirakan mereka adalah orang yang kehabisan bekal perjalanan dalam penjelajahan hutan. Versi lain menyatakan alunan gamelan mistis itu seakan menghipnotis orang tertentu untuk terhanyut pergi ke sana, dan tak kembali lagi. Penduduk percaya bahwa pemilik tulang belulang tersebut adalah orang yang tersesat karena dibawa makhluk halus. Karena lokasinya yang terpencil dan tak ada yang kesana, sehingga orang tersebut 'ditinggalkan' saja kemudian mati karena kelaparan atau tersesat. Waduh mistis yaaa....

Bila kita melakukan pendakian ke sana, mungkin kita tak lagi bisa menemukan tulang belulang itu lagi. Ini disebabkan, penduduk setempat yang sedang menjelajah hutan sudah menguburkan tulang-belulang itu di tempatnya, yang sudah tak bisa diingat lagi lokasinya. Meski demikian, kisah tentang tulang belulang itu masih menjadi detail penting dari catatan mengenai Gunung Argowayang. Atau kamu mau kesana siapa tau nemu apa gitu??!?!?!?!??!!!!

Tahun 2016 dibuka rute pendakian Anjasmoro via Argowayang yang menuju Tapak Bunder sebagai destinasinya. Destinasi Puncak Tapak Bunder ini agaknya sebagai pelipur lara dan pendakian ringan untuk para pecinta nanjak sekalian, karena sulitnya medan menuju Argowayang dari Wonosalam Selatan. Namun, dari puncak Tapak Bunder para pendaki bisa melihat 'pagelaran wayang' eksotis Gunung Argowayang ketika sinar mentari menciptakan siluet apik yang menjadi kebanggaan Wonosalam Selatan bila cuaca mendukung.

Jika para pecinta nanjak sekalian masih punya hasrat untuk menambah daftar penaklukannya, Argowayang masih tersedia untuk digapai. Memang tak banyak akses menuju ke sana, namun Wonosalam selatan punya beberapa pilihan guide untuk memandu para pendaki sekalian untuk mencapai puncak kelima tertinggi dari seluruh gugusan Pegunungan Anjasmoro.

Btw, Gunung Gapit di Wonosalam Selatan juga sangat menggoda untuk ditaklukkan. Gunungnya punya aneka eksotisme yang tersembunyi, dan  sangat unik karena memiliki dua puncak seperti terbelah. Karena itu, Gunung Gapit yang punya ketinggian lebih dari 2000 mdpl disebut Gunung Pegat di dalam peta. Kenapa tidak mencobanya juga????

Gunung Argowayang menambah daftar nama gunung berawalan Argo seperti Argoraung, Gunung Argolasem di Rembang, Argowilis di Ponorogo, dan Gunung Argopuro di Probolinggo. Kok berasa ngomongin nama-nama kereta api ya??? Ayo, kapan jalan-jalan di Argowayangnya Jombang??? Atau mau menaklukkan Argowayang yang sebenarnya????

Gunung Argowayang
via Wonosalam Selatan
Desa Galengdowo, Desa Jarak, Desa Wonomerto
Kabupaten Jombang

Gunung Gede Anjasmoro dari Desa Jarak Wonosalam

Terimakasih untuk Mas Daniel Gunung Bagging atas foto Puncak Argowayangnya,
Kapan ke Argowayang????

Nambang, adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas menyeberangi sungai naik perahu rakit atau getek. Penyeberangan dengan perahu ini dilakukan karena ketiadaan jembatan penyeberangan dan terlalu jauhnya rute yang harus dilewati untuk memutar demi mencapai titik seberang sungai yang ingin dituju. Untuk mempersingkat waktu dan memangkas jarak memutar, adanya ‘kapal feri’ berupa perahu tambang ini sangatlah bermanfaat.



Perahu yang digunakan untuk nambang biasanya berupa rakit atau getek. Getek atau  rakit adalah perahu tradisional yang disusun dari bambu. Tapi tak jarang beberapa ‘penambang’ menggunakan jukung sebagai perahunya. Rakit sendiri biasanya ditopang dengan tong tertutup sebagai ruang udara supaya tetap mengapung. Rakit tambang ini sangat kuat. Bisa mengangkut banyak orang, bahkan kendaraan bermotor. Bila perahunya besar, nambang juga bisa mengangkut mobil.


Istilah nambang berasal dari kata tambang yang artinya tali kekang yang besar dan kuat yang biasanya dipakai untuk lomba tarik tambang. Dulunya, para nahkoda perahu tambang ini menggerakkan perahunya dengan menarik tali tambang untuk mencapai seberang sungai.


Kini di zaman modern, para penyedia jasa penyeberangan sungai dengan perahu ini lebih memilih menggunakan diesel untuk menggerakkan perahunya dan tak lagi menggunakan tali tambang saat beroperasi. Peralihan metode penggerak penyeberangan ini tidak serta merta menjadikan ‘ndiesel’ untuk menggantikan istilah ‘nambang’. Hingga kini, aktivitas penyeberangan ini masih populer menggunakan istilah nambang.




Aktivitas nambang kini sudah jarang dilakukan oleh pendududuk perkotaan, mengingat mereka sudah memiliki kendaraan sendiri dan sudah sangat majunya infrastruktur yang tersedia. Nambang masih banyak dilakukan di desa atau wilayah yang biasanya tidak terdapat jembatan penyeberangan yang layak.



Salah satu titik penyeberangan sungai dengan perahu yang masih eksis adalah Tambangan Mireng di Desa Mireng Megaluh Jombang. Tambangan Mireng ini berada Jl. Tambangan yang berlokasi di tepian sungai yang sudah lengkap dengan dermaga untuk pendaratan jukung milik pak nahkoda perahu tambang. Aktivitas penyeberangan tidak lagi dilakukan dengan menarik tambang, tapi dengan diesel dan dayung.




Hanya dengan tarif Rp. 2500,- per orang, kita bisa menikmati suasana menyeberangi sungai. Beberapa orang bahkan membawa hasil bumi kebunnya dengan mengendarai motor ketika naik perahu tambang.




Sungai yang diseberangi adalah Sungai Brantas, yang merupakan sungai terbesar di Jawa Timur. Kondisi sungai tampak bersih, airnya keruh pertanda membawa endapan lumpur yang subur. Pemandangan sepanjang sungai tampak indah, sepertinya penduduk sekitar cukup paham akan konsep kelestarian sungai.



Dulunya, Sungai Brantas berukuran dua atau tiga kali lebih besar dari ukuran yang sekarang. Pendangkalan serta material sungai yang terbawa hanyut oleh aliran air membuat ukurannya menyempit menjadi seperti sekarang. Namun meski ukurannya agak mengecil, Sungai Brantas tetap menjadi yang terbesar di Jawa Timur.



Sungai Brantas, adalah jalur transportasi utama di masa kerajaan kuno di Jawa Timur. Dulunya, Selain lebih cepat, jalur darat dulunya masih berupa hutan belantara sehingga sangat berbahaya untuk dilalui. Kerajaan yang menggunakan Sungai Brantas sebagai jalur transportasi utama diantaranya Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Majapahit.


Megaluh, tempat dimana Tambangan Mireng berada, dulunya adalah dermaga yang ramai karena menjadi lokasi pelabuhan kapal-kapal di masa Kerajaan Mataram Kuno. Memang, Megaluh dulunya adalah salah satu kota penting di masa kerajaan yang didirikan oleh Mpu Sindok itu, selain Watugaluh yang menjadi ibukota kerajaannya. Bisa jadi, Mireng dulunya juga salah satu titik pendaratan kapal-kapal kuno tersebut.


Aktivitas penyeberangan di Sungai Brantas ini masih aktif dilakukan penduduk, mengingat belum adanya jembatan yang menghubungkan kedua titik. Sebenarnya ada jalan menuju seberang sungai, namun lokasi jembatan terlampau jauh sehingga harus mengambil jalur memutar. Selain mengakibatkan jarak tempuh yang lebih panjang, tidak adanya efisiensi waktu. Karena nambang dirasa lebih praktis, banyak penduduk yang masih menggunakan jasa ini.


Sebenarnya dari aktivitas nambang ini, selain menyeberangi sungai kita bisa juga menikmati keindahan pemandangan perairan yang bersih tentunya.  Selain sebagai sarana cuci mata yang murah, menikmati indahnya pemandangan perairan juga membuat kita bisa mengamati habitat sungai dan sekelilingnya.



Banyak tanaman yang tumbuh di sepanjang sungai, termasuk bunga bintang yang begitu indah dan unik yang merupakan bunga favorit Jombang City Guide selain Bunga Jombang. Selain berwisata menyeberangi sungai, kita juga bisa thenguk-thenguk di pinggir sungai. Bersantai dan memandangi sungai, termasuk suatu hal yang mungkin sudah jarang Jombang City Guide lakukan karena kesibukan mencari nafkah di weekdays.



Kita juga sekaligus menapak tilas masa-masa dimana sungai ini berjaya sebagai jalur transportasi utama pelayaran. Bayangkan, kapal-kapal perdagangan dan kerajaan berlalu-lalang dan berlabuh di dermaga ini. Miriplah seperti Raja Hayam Wuruk Sang Prabu Wilwatikta pulang dari Blitar dan mendarat di Bekel-Perak, tak jauh dari Megaluh. Sang Baginda melalui Sungai Konto dengan mengendarai jukung yang aliran sungainya bermuara di Sungai Brantas.



Menyeberangi Brantas di Mireng dengan getek berupa jukung ini juga bisa menjadi sebuah edukasi dan wisata pengenalan bagi anak-anak mengenai moda transportasi tradisional di masa lampau. Biasanya anak-anak perkotaan di zaman modern sudah jarang yang mengetahui eksistensi jasa penyeberangan sungai dengan menggunakan perahu ini.



Selain itu, aktivitas warga setempat bisa menjadi edukasi untuk anak-anak mengenai habitat tepian sungai maupun pengenalan lingkungan. Tampak beberapa penggembala sedang menggiring kambingnya di titik yang berbeda. Ini juga bisa menjadi sarana pengenalan hewan bagi bayi maupun anak-anak yang turut serta dalam ‘wisata sederhana’ ini.




Meski belum seindah wisata naik cruise melintasi Selat Bosporus di Turki, kegiatan menyeberangi sungai dengan perahu tradisional bisa menjadi jujugan wisata baru untuk masyarakat. Seandainya dikembangkan lebih lanjut, Wisata naik perahu menyeberangi sungai ini bisa dikembangkan lagi secara swadaya. Mengingat tren banyaknya tempat wisata yang bermunculan dan digagas oleh warga sendiri.



Di Jember, penyeberangan dengan rakit ini dikemas sedemikian rupa hingga menjadi sebuah jujugan wisata yang menarik. Wisata perairan dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap bisa menjadi daya tarik yang mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya masing-masing penumpang disediakan pelampung untuk keselamatan, meski penyeberangan relatif aman. Para penumpang duduk berderet di kursi yang ada di rakit yang sudah dihias sebagai ‘pemanis’ kegiatan wisata.



Selain banyaknya manfaat dari kegiatan yang sepele ini, wisata menyeberangi sungai adalah salah satu low budget tourism yang cukup seru dilakukan. Anak-anak yang turut serta dalam rombongan Jombang City Guide senang sekali dengan kegiatan ini.



Di Desa Mireng, juga terdapat reruntuhan Candi Mireng yang merupakan candi pendermaan Lembu Tal, kakek buyut dari Prabu Hayam Wuruk. Mireng juga tak jauh dari Kompleks Petilasan Damarwulan yang masih dalam satu area Kecamatan Megaluh. Jadi tak rugi menuju kesini karena dalam satu area ada beberapa jujugan yang lokasinya berdekatan dan bisa dikunjungi.



Semoga dengan ditulisnya artikel ini, bisa menjadi inspirasi masyarakat untuk memanfaatkan hal sederhana sebagai hiburan yang mungkin sudah jarang dilakukan dan didapat di zaman modern.


Wisata Naik Perahu Nambang Mireng
Jalan Tambangan Desa Mireng
Kecamatan Megaluh – Kabupaten Jombang