Tarekat Shiddiqiyah Ploso


  

Di Jombang ada tarikat yang terkenal dengan dzikirnya, yaitu Tarekat Shiddiqiyah. Tarekat Shiddiqiyyah adalah satu dari 44 tarekat dalam agama Islam yang saat ini ada dan berkembang di dunia. Banyak tarekat yang tersebar di dunia ini namun satu-satunya tarekat yang mempunyai tempat secara khusus untuk menerima pelajaran dzikir khusus adalah Tarekat Shiddiqiyyah. 



Wikipedia menyatakan, Tarekat Shiddiqiyyah sekarang ini di luar Indonesia sudah punah, dan satu-satunya di dunia hanya terdapat di Indonesia yang berpusat di Ploso-JombangJawa Timur. Lokasinya seperti yang ada di gambar, beberapa waktu lampau, keluarga Jombang City Guide sempat mampir kesana.

Cara sholatnya juga sama, 5 kali dalam sehari. Bedanya hanya setelah sholat Jumat, jamaah tarikat ini masih wajib untuk sholat Dhuhur.  Mengenai Tarekat Shiddiqiyyah ini, lebih jauhnya bisa disimak disini, disitu, dan disana.


Tempatnya bagus, mirip seperti kastil tapi dengan kubah dan relief Quran warna-warni. Tempat ini juga pernah tampil di sebuah acara di TransTV yang dibawahan oleh presenter Ramzy. Yaa... Semoga info ini bermanfaat. Ternyata ada lho, di Jombang. Hehehehe...

*Tarekat = Thoriqot.


 Foto diambil dari Grup Seputar Jombang dan Info Terkini

Musim Gugur Merdeka di Jalan Gus Dur


Setelah diganti namanya menjadi Jalan Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Jalan Gus Dur tahun lalu, eks-Jalan Merdeka tetap menjadi gerbang masuk tangah kota Jombang yang ramai dengan aktivitas warganya.

Hotel Paviljoen Djombang

Foto Lawas



Di Jombang ada beberapa watertoren yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Selain Watertoren Mojoagung, yang paling populer tentunya adalah Watertoren Ringin Tjonthong, yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Jombang sekaligus titik nol Kota Santri.
Watertoren ini berdiri tegak di samping Beringin Conthong, maka dari itu disebut warga Jombang sebagai Menara Air Ringin Conthong. Watertoren Ringin Conthong ini, menjadi cagar budaya yang juga saksi bisu sejarah perkembangan Jombang dari masa ke masa.


Pintu air raksasa ini juga dijadikan bundaran persimpangan empat jalan yaitu Jalan Merdeka (Jalan Presiden Abdurrahman Wahid), Jalan Wahid Hasyim, Jalan Achmad Yani, dan Jalan Seroja.  Jadi sebagai titik nol Kota Santri Jombang BERIMAN, kita bisa saksikan lalu lalang dan aktivitas warga Jombang apabila berdiri di dalam bundaran ini. Riuhnya, ramai tapi tetap tertib. Sebelumnya Jombang City Guide sudah pernah menampilkan sudut pandang Ringin Conthong dari dalam, dalam artikel sebelumnya di Ringin Conthong Inside.




Sebenarnya, banyak tandon air serupa di kota-kota lain di Indonesia, yang merupakan peninggalan Belanda. Misalnya di Pasuruan, Jember, Krian, Magelang, Medan dan lain-lain. Namun kondisinya beragam, ada yang terlupakan, ada yang rata dengan tanah, ada yang hampir rusak, ada pula yang masih berdiri tegak tapi tidak terawat.


Tandon air raksasa kebanggaan Jombang ini dalam kondisi yang baik, meski sudah tidak terpakai lagi. Warga Jombang patut berbangga karena tandon air raksasanya dalam kondisi yang terawat, bahkan dijadikan ikon kebanggaan seluruh lapisan masyarakat.

Sayangnya kami belum menemukan foto watertoren ini saat zaman kolonial

Sama seperti gardu listrik peninggalan Belanda, setiap kota punya desain watertoren yang berbeda dengan ciri khas masing-masing. Bisa jadi karena arsiteknya beda, atau disesuaikan kebutuhan kota terkait. Bahkan di Belanda, sampai saat ini juga masih banyak watertoren sejenis, dengan aneka ragam desain. Misalnya di Groningen, Amsterdam, Utrecht, Middlekerke, Lutten, dan masih banyak lagi. Karena setiap kota, memiliki kadar ‘kemelimpahan air’ yang berbeda, sehingga rancangannya pun berbeda pula.


Warna watertoren ini juga berubah seiring tren dan naungan kekuasaan yang menjabat di Jombang. Dari awalnya yang berwarna putih seperti peninggalan-peninggalan kolonial pada umumnya, lalu kemudian dicat bergantian, diantaranya pirus dan kini menjadi kuning, sesuai warna pejabat penguasa yang identik dengan kemelut kuningisasi yang diderita Jombang. Mungkin ada masanya nanti saat pink yang menjabat, bisa jadi menara air ini akan berubah menjadi merah jambu…

Saat Hijau

Pintu Masuk Menara Air

Pendapat Jombang City Guide sih… rasanya lebih bagus dikembalikan menjadi putih broken white saja, selain netral juga lebih berasa nuansanya sebagai benda cagar budaya peninggalan penjajah Belanda. Jadi nuansa kolonialnya lebih mandes, apalagi sekarang sedang tren bangunan lama direnovasi ulang dan dipercantik uintuk menguatkan kesan tempoe doeloenya.


Watertoren adalah menara yang digunakan untuk persediaan air, yang biasanya cadangan air ditempatkan dalam sebuah tangki atau tandon. Berasal dari kata water yang artinya air, dan toren yang artinya tower atau menara dalam bahasa Belanda.


Tandon artinya cadangan. Tandon air berarti cadangan air. Biasanya ada yang ditanam, tapi ada pula yang diletakkan di tangki yang ada di menara yang tinggi, maka dari itu bisa juga disebut tangki air. Menara inilah yang oleh Belanda disebut Toren, yang dalam Bahasa Inggrisnya adalah Tower.


Saat zaman kolonial dulu, setiap orang Belanda menunjuk menara kemudian berkata toren. Mungkin inilah cikal bakal orang Indonesia yang mengira kalau toren adalah tandon air. Akhirnya lama kelamaan orang-orang menyebut tandon air itu sebagai toren karena mengikut orang Belanda, dan menjadi turun-temurun. Bahkan saat tandon air tanpa menara pun, tetap saja orang Indonesia menyebutnya toren, karena memang sudah terpatri di hati. Xiixix…


Tangki atau tandon air dibuat untuk menampung air, dengan tujuan saat sulit air seperti air macet atau gangguan dari PDAM, tendon penampungan air menjadi solusi yang selalu siap sedia. Rumah-rumah di Indonesia banyak yang memiliki tendon air, terutama di kota besar yang memang pengguna airnya sangat banyak.


Konsep penampungan air ini, sudah digunakan pemerintah kolonial Belanda saat mereka menduduki bumi pertiwi ini. Pembangunan di segala bidang, yang bertujuan menjadikan Hindia Belanda senyaman rumah mereka di Holland sana. Salah satu pembangunan itu adalah membangun tandon air, yang juga dilakukan di Jombang.



Sejak 1929
Watertoren Ringin Tjonthong, dibangun pemerintah Belanda tahun 1929, berkapasitas lebih dari sepuluh ribu liter air yang nantinya akan dialirkan ke Jombang. Air yang ditampung berasal dari Wonosalam yang memang merupakan kawasan hutan penghasil sumber daya air yang melimpah di Jombang.


Orang Belanda sudah memikirkan untuk tidak mengandalkan sumber air saat membutuhkan air bersih dan menggunakan. Dengan menampung air dalam tandon, aliran airnya stabil. Tidak tergantung saat jam-jam puncak orang menggunakan air seperti di pagi dan sore hari.


Hebatnya, tandon ini bisa terisi sendiri karena gaya gravitasi. Air bisa naik sendiri ke dalam tandon air. Tapi itu dulu. Kini debit air makin tahun makin berkurang sehingga air harus dipompa supaya bisa naik ke tandon. Dan pompanya juga harus berukuran jumbo, wajarlah namanya juga tandon raksasa, jadi pompanya juga harus besar pula.


Kini tandon air raksasa kebanggan Jombang ini tidak terpakai lagi. Selain karena faktor usia, teknologi pengairan PDAM sudah lebih baik daripada zaman Belanda dulu. Bahkan, banyak warga Jombang biasanya sudah menggunakan sumur sendiri di rumahnya, atau punya tandon pribadi di rumahnya masing-masing.


Sayangnya, meski diagung-agungkan sebagai landmark utama Kota Santri Jombang BERIMAN, terkadang titik nol Jombang ini digunakan oleh para tunawisma dan keluarganya untuk tidur maupun beraktivitas. Sehingga kadang bagi yang ingin menikmati indahnya cagar budaya peninggalan Belanda ini akhirnya harus ngacir seketika karena anak-anak tunawisma itu segera mendekat untuk meminta uang. 😐

Keluarga Tunawisma

Sebagai ikon Kota Santri, Watertoren Ringin Conthong ini juga sebagai benda cagar budaya yang bisa dijadikan jujugan dan destinasi wisata yang keren. Supaya ikon kebanggan Kota Santri Jombang BERIMAN ini tidak gelap saat malam, pemerintah Kabupaten Jombang memberikan penerangan berupa lampu hias tidak hanya saat tujuh belasan saja seperti di zaman orde baru dulu, tapi setiap malam. Selain lampu hias, juga dipasang lampu LED yang bisa berubah warna setiap beberapa detik sehingga tampilan Watertoren Ringin Conthong tampak indah dan instagramable. Hehhehehe……………..





Pemerintah Kabupaten Jombang juga masih berusaha ‘menghidupkan’ kembali tangki air raksasa ini. Walaupun perlu pengkajian lebih lanjut mengingat usia bangunan yang sudah ‘sepuh’, pemerintah Kabupaten Jombang belum putus asa. Sehingga tidak hanya sebagai cagar budaya saja, tapi juga kembali pada ‘fitrahnya’ sebagai pintu air pengalir air untuk warga Jombang yang membanggakannya.


Watertoren Ringin Tjonthong de Djombang
Jl. Wahid Hasyim 1, Jombang

Patok Monyet